Mereka
Kulihat
lelaki itu didalam cermin. Aku tidak yakin apa yang ia lakukan di dalam sana,
aku saja tidak tahu apakah ia sungguh di dalam atau hanya di permukaan cermin.
Satu yang pasti lelaki itu nampak sedih. Sudah terlihat dari raut wajahnya kesedihan
yang dalam. Tak jelas juga apa kesedihan itu namun siapa yang peduli. Melihat
raut muka lelaki itu orang-orang pasti jadi ikutan murung.
Begitulah
setiap pagi terjadi, setiap aku bangun dan menghadap cermin. Aku punya firasat
ini hantu, namun apa benar ini hantu? Kalau ini hantu aku tak akan mengusirnya.
Ini tidak pula menyenangkan tidak pun menyedihkan. Ini hanya unik bagiku
sebagai manusia yang selalu melihat seorang pemurung sebelum mengawali harinya
yang entah apa tujuannya. Tapi jika dipikir lagi itu tidaklah lagi seperti itu,
tujuanku sekarang ke sekolah.
Aku
pun segera pergi mandi menghilangkan segala dosa yang tidur pada permukaan
kulitku. Pernah sekali aku bermimpi air di bak mandi berubah menjadi darah.
Pada mimpi yang aneh sekaligus menggelikan itu aku mandi seakan mandi untuk
pertama kalinya setelah lima puluh satu tahun mendekam di dalam tanah. Karena
pada saat mimpi itu terjadi aku adalah setan. Bak mandiku saat mimpi itu
terjadi adalah tungku api. Gayungku pada saat itu terbuat dari tengkorak yang
dipecah sehingga menciptakan gayung yang unik. Namun mimpi itu sudah lama
kualami, aku juga sudah lupa kapan aku bermimpi lagi. Barangkali ketika bapak
memberi ibuku kejutan dengan surat dari meja hijau.
Kusudahi
mandiku segera setelah kusadari waktu yang tersisa sebelum aku terlambat. Aku
mengenakan seragamku yang atasannya sewarna awan dan bawahannya sewarna awan
mendung. Aku tak sarapan, kata itu tak ada dalam kamus keseharianku. Segera
saja kuambil tasku dan dengan biasa saja keluar dari rumah ke dunia yang penuh
nestapa.
Memang
aku hanya berjalan kaki dan waktu semakin mengejarku. Namun aku punya keyakinan
setelat-telatnya aku tidak boleh terburu-buru. Siapa juga yang mau meninggalkan
pagi yang kesiangan ini. Burung-burung juga masih berkicau pada pohon-pohon
disampingku. Aku bertanya-tanya pada yang menyebut kicauan burung itu merdu.
Memang aku tak menyangkal bahwa suara itu terasa nyaman ditelingaku, namun
pernahkah kita semua tahu apa maksut dari suara yang tidak jelas itu.
“Bebaskan
aku manusia sialan!” Kata burung didalam sangkar.
“Beri
aku makan dasar kalian manusia serakah!” Kata burung di taman.
“Bentar
lagi aku akan mati, terkutuklah kalian manusia egois! Mana macan-macan kecil
itu. Aku mau bersujud pada mereka.” Kata burung yang terjatuh di trotoar.
Itu
semua hanya kemungkinan, aku sendiri tak peduli pada maknanya yang kutahu aku
nyaman mendengarnya.
Tibalah
aku didepan gerbang sekolah yang masih terbuka menampakkan gedungnya yang
megah. Dengan luka tua yang menghiasi gerbang secara acak dan gedungnya yang
dipenuhi zamrud yang hidup yang juga menjalar pada permukaanya. Jujur aku
merasa bosan dengan ini semua sampai kumelihatnya berjalan didepanku melalui
gerbang itu.
Aku
tak tahu sedari tadi aku berjalan di belakangnya, aku mulai berpikir mengapa
aku tak menyadarinya sedari tadi. Mungkin karena cara jalannya yang biasa saja
atau karena aku terlalu memperhatikan burung-burung tidak jelas tadi. Pasti itu
karena burung-burung itu, memang sialan burung-burung itu.
Biar
kuceritakan sedikit tentang dirinya. Dia memakai seragam yang sama denganku
hanya bawahannya saja yang berbeda. Miliknya tak punya sekat antara kaki yang
kanan dengan yang kiri. Ya, dia seorang perempuan. Dia perempuan yang biasa
saja, dia tidak bisa disebut pintar, atletispun tidak, soal rupa aku suka-suka
saja. Namun sungguh dia tidak pernah menonjolkan sesuatu yang bermakna dari
dirinya, malah orang-orang seperti dituntut mencari makna dari dirinya. Mengapa
aku mengetahuinya? Kami sudah kenal lama, aku selalu memperhatikannya.
Entah
mungkin sadar akan keberadaanku, dia menoleh kebelakang sambil tersenyum. Aku
berlari kecil menghampirinya. Kelas kami kebetulan sejalan, jadi kami mengobrol
sambil berjalan santai. Kemudian aku mengingat lelaki didalam cermin. Aku
mengingatnya untuk melupakannya.Setelah tiba didepan kelasku kami mengakhiri
obrolan dan pergi ke kelas masing-masing.
Aku sudah berada di dalam kelasku. Aku sudah
berada di dalam nerakaku. Biar kuluruskan apa yang kumaksut ‘neraka’ itu. Jujur
kelas ini menakutkan namun menakjubkan, manusia disini bagaikan manusia dari
dunia seberang. Teman-temanku dikelas ini dapat dikatakan punya hobi yang sama,
yaitu mennganggu satu sama lain. Itu hal menakutkannya. Hal menakjubkannya
adalah soal hobi mereka itu. Sungguh menakutkan sekali bagiku didalam struktur
sosial ganggu-mengganggu ini. Oh, dan mereka juga berisik ini membuat kelasku
seperti hutan.
“Wawawawahahahahha!” Kata
temanku.
“Hei kau jangan berisik!”
Kata temanku yang lainnya.
“Urusi urusanmu sendiri
jangan campuri urusanku!”
“Apa yang kau bilang!”
Begitulah setidaknya temanku yang menegur pertama kali ikut terjerumus.
“Wawawawawawawa!”
“Wiwiwiwiwiwiwi!”
Begitulah sekiranya setiap pagi dimulai dengan kera unggul satu menganggu kera
unggul yang lainnya. Terkadang cukup menyenangkan berkomunikasi dengan mereka,
namun terkadang hanyalah jarang. Yang lebih penting spesies kera unggul ini
hanya dapat diam ketika seekor manusia berpangkat guru dihadapkan pada mereka.
Begitulah hari yang kumulai
dan begitu pulalah hari itu berlalu. Bel sudah berdering dengan keras pada sore
hari dan begitulah sekolah hari ini diakhiri. Hari berjalan seperti biasa
dengan teman-temanku yang berisik dan juga mengangguku dan aku hanya dapat
tersenyum layaknya aktor mendalami perannya. Aku sudah cukup lelah seharian
berada di ruangan kelas itu, ya walaupun aku sempat istirahat tapi itu hanya
meredakannya untuk sebentar. Kuberjalan sambil menggendong tasku dipundak lalu jejeran
papan pengumuman menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak didepan papan itu.
Tertulis di papan itu ujian akhir akan segera datang, dan ya aku siswa tahun
terakhir, dan ya lagi, ini membuatku depresi.
Kompetisi
yang secara tersirat diadakan pihak yang mengaku sebagai pendidik membuatku
berpikir terlampau jauh kedepan. Mereka seakan-akan menuntut untuk yang paling
sempurna hanya dengan kicauan-kicauan mereka yang sama membingunkan maknanya
dengan suara burung-burung tadi. Itu semua membuatku kawatir akan nilaiku pada
ujian akhir nanti. Semua bilang tanpa angka-angka ‘indah’ itu hidupku akan
berubah. Saat mengatakan kata berubah nada mereka rendah. Saat mengatakan
dengan nada rendah mereka seakan marah. Aku merasa seperti dipelototi
setan-setan dari jahanam saat mendengar itu semua. Semua itu hanya membuatku
selalu mencari pengalihan.
“Hey,
apa yang kau lihat?” Tanya suara dari belakangku. Itu adalah dirinya yang
sedang dibelakangku itu.
“Kau
lihat semua ini? Apa pendapatmu bagiku ini sampah.” Aku menyembunyikan
pikiranku yang kelewat jauhnya itu darinya.
“Ya,
kau tahulah,” dia membentuk tangannya seperti kumis lalu meletakannya dibawah
hidungnya sambil berbicara “Kita semua harus termotivasi agar dapat menjunjung
negeri.” Suaranya terdengar seperti salah satu guru kami yang mendapat gelar
motivator tersohor, untukku motivator tersosor.
“Hahahahahahaha.”
Begitulah kira-kira tawa kami berdua. Dapat dikatakan Bersama dirinya merupakan
pengalihan yang ampuh. Kemudian kami berjalan keluar bersama-sama. karena
kebetulan rumah kami dapat dikatakan sejalan, kami pulang bersama-sama.
Entah
kenapa pada perjalan pulang ini dirinya tiba-tiba bertanya padaku soal hubungan
yang buatku mengatakannya saja sudah jijik. Dia bertanya padaku soal hubungan
asmara. Sungguh aku benar-benar muak dengan hanya mendengar kata-kata itu yang
digembor-gemborkan oleh kapitalis perasaan dalam politik kasih dan sayang.
“Aku
tak tahu apa-apa soal itu.” Aku segera menengok kearahnya setelah mengatakan
kata-kata itu. Mukanya menunduk kedadanya entah apa maksutnya. Mau dikata malu
juga mana mungkin, lalu dia tiba-tiba menoleh kearahku sambil tersenyum hangat
dan melanjutkan obrolan dengan mengganti topik. Perkataan yang dia lontarkan
setelah mulutnya melebar itu tidaklah terlalu kuperhatikan. Aku hanya terus
mengingat senyum sumringah hangat tadi.
Tibalah
kami pada persimpangan jalan. Kami mengakhiri obrolan dan dirinya lanjut
berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Aku masih belum berjalan lagi aku
diam-diam menatapnya dari jauh sampai dirinya sedikit menengok kebelakang dan
memamerkan senyumnya untuk sekian kalinya. Aku membalasnya dengan senyumku lalu
berjalan lagi. Aku merasa bersalah padanya. Tampaknya aku punya jawaban untuk
pertanyaannya tadi.
Aku
sudah sampai di depan rumahku. Aku sudah sampai di depan surgaku. Biarkanlah
aku jelaskan arti kata ‘surga’ itu. Aku menyebutnya demikian karena hanya
didalam rumahku aku merasa terasing dengan dunia yang kejam diluar sana dengan
setiap saatnya tak ada yang dapat mengetahui. Aku serasa bisa melakukan apapun
ketika sendirian, aku menjadi lebih percayadiri karena tak ada satupun yang
akan menganggu pikiranku ketika berada dalam kesendirian ini. Aku merasa amat
tamat bahagia, aku merasa di surga.
Tidak
selamanya hal ini dapat menggembirakanku. Malah terkadang hal ini membuatku
merasa tertekan karena banyak pikiran. Karena sebenarnya tidak ada yang
mengalihkan fokusku pada pikiranku yang terlampau jauhnya ketika sendirian.
Surga ini lama-kelamaan juga akan berakhir, aku tak tahu kapan, mungkin saja
sekarang namun kumohon jangan sekarang.
Benar
saja ketika aku masuk tak ada siapapun dirumah. Ibu sudah pergi setelah diberi
kejutan spesial oleh bapak. Sementara bapakku itu yang diberi hak asuh mutlak
sejak bertahun-tahun lalu hanya dapat menenggak air surga dan pergi mengembara
ke sudut kota. Aneh rasanya memikirkan alasan bapak memberikan kejutan
menghebohkan itu, karena setelahnya semua tampak abu. Aku juga bingung mengapa
bapak dapat mendapat hak asuhku. Yang kuingat dulu ia mati-matian membelaku,
mungkin hanya agar dia mendapat kesan baik untuk istri simpanannya.
Aku
segera berganti baju dan pergi kekamarku untuk beristirahat. Lalu aku melihat
cermin yang tadi padi, aku kembali melihat lelaki itu. Wajahnya masih sama
seperti tadi pagi, tak ada senyum yang mengembang malah mungkin hanya mulutnya
yang tambah mengkerut. Aku alihkan pandanganku pada lelaki itu lalu pergi
kekamar dengan pakaian yang sudah berganti.
Aku
hanya terdiam menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang dapat kulakukan, hal
ini membuatku teringat ujian akhir akan segera datang. Aku mencoba untuk
mengalihkan diriku dengan belajar walaupun hari masih sore dan sebenarnya aku
benar-benar malas melakukannya. Satu jam pertama terasa baik-baik saja walaupun
aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku menjadi seperti ini. Jam-jam berikutnya
berjalan dengan lama dan membosankan hanya demi untuk melupakan pikiran tidak
jelasku itu. Sampai jam kelima kepalaku terasa pusing sekali, ini sudah biasa
terjadi namun sekarang rasanya amat dahsyat. Aku tak dapat berpikir apa-apa
lagi. Segera aku langsung merebahkan diriku kekasur. Kembali aku hanya dapat
menatap langit-langit, kembali aku berpikir tentang hasil ujianku nanti.
Semakin aku memikirkannya semakin aku merasa bodoh. Semakin aku merasa bodoh
semakin aku jatuh.
Aku
menangis. Biarlah kalian menganggapku cengeng karena ini kebenarannya bahwa aku
menangis dan kepalaku serasa meledak memikirkan waktu yang akan datang yang tak
akan bisa ditentang. Hari memang belum cukup malam, namun sakitku sudah tak bisa
kompromi lagi. Aku terlelap layaknya orang mati, tiba-tiba dan tenang sekali.
Aku
terbangun dengan kepalaku yang masih terasa pusing dan berat. Sudah kutetapkan
aku tak akan berangkat sampai aku ingat tentang kesendirian yang akanku
rasakan. Masa bodoh, aku segera mandi lalu mengenakan seragam, tidak lupa
minyak angin aku oleskan disamping-samping kepala. Aku pergi dengan mantap
mencoba memikirkan hal-hal baik agar sakit ini segera hilang. Tentang lelaki
didalam cermin itu, aku lupa untuk melihatnya di cermin, semoga dia baik-baik
saja.
Aku
sampai di sekolah dengan waktu yang cepat. Sampai didepan gerbang sekolah sudah
terlihat beberapa murid berdatangan, diam-diam aku mencari sosoknya. Sebuah
tepukan mendarat dipundakku, aku menoleh dan ternyata itu adalah dirinya. Kami
masuk kedalam sekolah sambil mengobrol sebentar. Sebenarnya aku ingin mengulang
pertanyaanya yang kemarin namun begini saja sudah cukup. Ini adalah awal hari
yang baik.
Sesampainya
dikelas, suasananya masih sama berisik dan kacaunya seperti biasa. Ini adalah
awal hari yang buruk. Dari belakang temanku memukulku tiba-tiba tepat dikepala.
Pusingku kembali lagi menyerang setelah beberapa saat yang lalu menghilang. Aku
tau maksut mereka hanya bercanda namun sungguh hati tak menghadapi dengan
semena-mena, ingin marah rasanya namun apa daya, terlintas dikepalaku ‘mati
satu tumbuh seribu’, aku hanya diam saja.
Jam-jam
disekolah berlalu dengan sangat buruk. Candaan pukul-memukul itu berlangsung
sampai bel pulang berdering. Kepalaku seakan mau pecah, langsung saja aku
menggendong tasku dan berjalan pergi meninggalkan kelas. Saat didepan pintu
seorang teman kembali memukulku tepat di kepala. Seketika rasa pusing itu
menyebar keseluruh badanku, sungguh rasanya seakan melayang-layang. Aku hanya
diam saja dan terus berjalan, aku hanya ingin segera kembali ke surgaku.
Setelah
keluar dari kelas aku malah melihat dirinya. Ini sungguh tidak bermutu,
pusingku tiba-tiba hilang. Dia terlihat menunduk menghadap secarik kertas. Aku
bingung apa yang ia lakukan, aku berniat untuk menghampirinya sampai dia
menoleh ke arahku. Wajahnya merah dengan sedikit air mata pada matanya. Aku tak
tahu apa isi kertas itu yang kutahu dia terharu, bagaimana kutahu, sudah
kubilang sudah mengenalnya sejak dulu. Entah mengapa tiba-tiba muncul hasrat
dalam diriku untuk membuatnya kagum. Hasrat itu muncul tiba-tiba dan tidak
pastinya yang membuatku seakan-akan ingin berbuat hal besar. Apa itu hal besar?
Jawabannya ujian akhir. Aku akan berusaha untuk itu dan semoga kera-kera unggul
baik-baik denganku.
Hari-hari
terus berlalu dengan aku dan pikiranku yang semakin melaju. Tak tahu melaju
kemana, kedepan aku tak yakin, kebelakang aku tidak mau, mari sebut saja kasus
ini mundur kedepan. Setiap hari kuusahakan paham semua yang dikoar-koarkan
guruku. Aku berusaha memahami segala sesuatunya mengingat jika tidak pikiran
yang membawa rasa kesal itu akan datang lagi dan aku tak mau sakit lagi.
Walaupun begitu pusingku malah menjadi kekasihku, dia selalu ada ketika ada
aku. Hal-hal ini juga membuatku lebih jarang bertemu dengan dirinya. Kadang
ketika berangkat sekolah aku bertemu dengannya, kadang juga saat pulang, semua
itu tetaplah menjadi kadang. Jujur aku penasaran kemana dia sering pergi, namun
dengan senyumnya yang masih tersegel rapi di ingatanku aku tetap terus melaju.
Entah
dengan kekuatan siapa teman-temanku menjadi tidak lebih meresahkan daripada
sebelumnya. Mereka seakan-akan menjadi lebih baik kepadaku, lebih hebatnya lagi
kepada sesamanya mereka juga berbuat hal yang sama. Aku tak yakin karena aku yang
terlambat menyadarinya atau mereka yang tiba-tiba berubah, yang penting itu
tidak penting. Karena yang penting sekarang hanya ujian itu.
Hari
ujian akhir telah tiba, semua terlihat merana dan terpesona secara bersamaan.
Merana karena takut, terpesona karena hal baru yang akan datang. Aku sendiri
bersikap biasa saja karena sikap itu yang paling cocok untukku. Beberapa hari
yang lalu motivator tersosor juga kembali ditampilkan untuk membobol perasaan.
Aku sendiri kembali ke biasa saja.
Aku
mengerjakan semua soal pada ujian itu dengan ganas, semuanya aku libas dengan
pikiran panas. Semua dikerjakan pada kotak ajaib bercahaya yang langsung bisa
memberikan nilainya ketika sudah selesai, sungguh ajaibnya sebuah keajaiban
dunia. Aku cukup yakin setidaknya aku bisa mendapat nilai yang baik agar
kekasihku si pusing bisa terasing.
Semuanya
sudah selesai. Manusia yang berpangkat guru menyuruh kera unggul yang
berpangkat murid untuk menunggu pengumuman nilai. Kubilang juga apa, dunia
semakin ajaib. Tak lama menunggu semuanya sudah berseru, berlari ke arah papan
pengumuman bersama-sama menggertakkan tanah. Mereka mengerumuni papan
pengumuman itu, semenara aku berada dipaling belakang menunggu sepi. Kumencari
sosok itu ditengah kerumunan, aku melihatnya namun hanya sekilas sedang berebut
melihat hasil ujian.
Sekarang
sudah cukup sepi. Yang mendapat nilai baik bersorak-sorak, yang jelek
berserak-serak. Kembali aku melihat dirinya lagi dengan raut muka senangnya
terpampang jelas, aku berencana menyapanya setelah melihat hasilku. Aku
berjalan ke papan itu dengan tegang, aku mencari-cari namaku dengan mencoba
tenang. Setelah beberapa saat namaku ketemu, nomer limapuluh satu dari seribu
satu, malam ke lima satu dari seribu satu. Aku juga melihat Namanya tepat
diatas nomerku. Aku berbalik untuk menyapanya saat kemudian aku melihat
seseorang telah bersamanya. Orang itu memakai bawahan dengan sekat
ditengah-tengah kakinya.
Aku
melihat senyumnya yang lebih indah dari yang pernah kuingat, sungguh itu sangat
teramat nikmat. Dirinya tersenyum lebar bersamanya, dirinya bahagia bersamanya.
Orang yang bersamanya juga terlihat bahagia dengan dirinya. Mereka berlalu saja
berdua dengan aku yang masih mengamatinya terdiam di depan hasil akhir itu. Masa
bodoh sungguh aku masa bodoh biarlah dia bersama siapa saja, asalkan aku masih
melihat muka itu, asalkan aku masih melihat senyuman itu. Aku tak peduli,
memang siapa yang peduli.
Aku
kembali berbalik menatap nilai-nilai yang dipaparkan rapi itu. Aku baru
menyadari ada cermin disampingnya, entah cermin itu sudah ada daritadi atau
tiba-tiba ada, lagipula aku tak tahu maksutnya menaruh cermin disini. Aku
teringat pada lelaki di cermin, lalu aku berdiri tegak dihadapan cermin dan
terlihatlah sosok lelaki itu. Sudah lama aku tak melihatnya, kusengajakan untuk
tak menemuinya sebentar setidaknya sebelum ujian. Dia jauh terlihat berbeda
dari terakhir kali. Sekarang senyum lebar terajut di wajahnya, senyum yang
megah, senyum yang sumringah menghias wajahnya dengan kasihnya. Begitu juga
denganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar