Minggu, 10 November 2019

Mereka


Mereka
            Kulihat lelaki itu didalam cermin. Aku tidak yakin apa yang ia lakukan di dalam sana, aku saja tidak tahu apakah ia sungguh di dalam atau hanya di permukaan cermin. Satu yang pasti lelaki itu nampak sedih. Sudah terlihat dari raut wajahnya kesedihan yang dalam. Tak jelas juga apa kesedihan itu namun siapa yang peduli. Melihat raut muka lelaki itu orang-orang pasti jadi ikutan murung.
            Begitulah setiap pagi terjadi, setiap aku bangun dan menghadap cermin. Aku punya firasat ini hantu, namun apa benar ini hantu? Kalau ini hantu aku tak akan mengusirnya. Ini tidak pula menyenangkan tidak pun menyedihkan. Ini hanya unik bagiku sebagai manusia yang selalu melihat seorang pemurung sebelum mengawali harinya yang entah apa tujuannya. Tapi jika dipikir lagi itu tidaklah lagi seperti itu, tujuanku sekarang ke sekolah.
            Aku pun segera pergi mandi menghilangkan segala dosa yang tidur pada permukaan kulitku. Pernah sekali aku bermimpi air di bak mandi berubah menjadi darah. Pada mimpi yang aneh sekaligus menggelikan itu aku mandi seakan mandi untuk pertama kalinya setelah lima puluh satu tahun mendekam di dalam tanah. Karena pada saat mimpi itu terjadi aku adalah setan. Bak mandiku saat mimpi itu terjadi adalah tungku api. Gayungku pada saat itu terbuat dari tengkorak yang dipecah sehingga menciptakan gayung yang unik. Namun mimpi itu sudah lama kualami, aku juga sudah lupa kapan aku bermimpi lagi. Barangkali ketika bapak memberi ibuku kejutan dengan surat dari meja hijau.
            Kusudahi mandiku segera setelah kusadari waktu yang tersisa sebelum aku terlambat. Aku mengenakan seragamku yang atasannya sewarna awan dan bawahannya sewarna awan mendung. Aku tak sarapan, kata itu tak ada dalam kamus keseharianku. Segera saja kuambil tasku dan dengan biasa saja keluar dari rumah ke dunia yang penuh nestapa.
            Memang aku hanya berjalan kaki dan waktu semakin mengejarku. Namun aku punya keyakinan setelat-telatnya aku tidak boleh terburu-buru. Siapa juga yang mau meninggalkan pagi yang kesiangan ini. Burung-burung juga masih berkicau pada pohon-pohon disampingku. Aku bertanya-tanya pada yang menyebut kicauan burung itu merdu. Memang aku tak menyangkal bahwa suara itu terasa nyaman ditelingaku, namun pernahkah kita semua tahu apa maksut dari suara yang tidak jelas itu.
            “Bebaskan aku manusia sialan!” Kata burung didalam sangkar.
            “Beri aku makan dasar kalian manusia serakah!” Kata burung di taman.
            “Bentar lagi aku akan mati, terkutuklah kalian manusia egois! Mana macan-macan kecil itu. Aku mau bersujud pada mereka.” Kata burung yang terjatuh di trotoar.
            Itu semua hanya kemungkinan, aku sendiri tak peduli pada maknanya yang kutahu aku nyaman mendengarnya.
            Tibalah aku didepan gerbang sekolah yang masih terbuka menampakkan gedungnya yang megah. Dengan luka tua yang menghiasi gerbang secara acak dan gedungnya yang dipenuhi zamrud yang hidup yang juga menjalar pada permukaanya. Jujur aku merasa bosan dengan ini semua sampai kumelihatnya berjalan didepanku melalui gerbang itu.
            Aku tak tahu sedari tadi aku berjalan di belakangnya, aku mulai berpikir mengapa aku tak menyadarinya sedari tadi. Mungkin karena cara jalannya yang biasa saja atau karena aku terlalu memperhatikan burung-burung tidak jelas tadi. Pasti itu karena burung-burung itu, memang sialan burung-burung itu.
            Biar kuceritakan sedikit tentang dirinya. Dia memakai seragam yang sama denganku hanya bawahannya saja yang berbeda. Miliknya tak punya sekat antara kaki yang kanan dengan yang kiri. Ya, dia seorang perempuan. Dia perempuan yang biasa saja, dia tidak bisa disebut pintar, atletispun tidak, soal rupa aku suka-suka saja. Namun sungguh dia tidak pernah menonjolkan sesuatu yang bermakna dari dirinya, malah orang-orang seperti dituntut mencari makna dari dirinya. Mengapa aku mengetahuinya? Kami sudah kenal lama, aku selalu memperhatikannya.
            Entah mungkin sadar akan keberadaanku, dia menoleh kebelakang sambil tersenyum. Aku berlari kecil menghampirinya. Kelas kami kebetulan sejalan, jadi kami mengobrol sambil berjalan santai. Kemudian aku mengingat lelaki didalam cermin. Aku mengingatnya untuk melupakannya.Setelah tiba didepan kelasku kami mengakhiri obrolan dan pergi ke kelas masing-masing.
 Aku sudah berada di dalam kelasku. Aku sudah berada di dalam nerakaku. Biar kuluruskan apa yang kumaksut ‘neraka’ itu. Jujur kelas ini menakutkan namun menakjubkan, manusia disini bagaikan manusia dari dunia seberang. Teman-temanku dikelas ini dapat dikatakan punya hobi yang sama, yaitu mennganggu satu sama lain. Itu hal menakutkannya. Hal menakjubkannya adalah soal hobi mereka itu. Sungguh menakutkan sekali bagiku didalam struktur sosial ganggu-mengganggu ini. Oh, dan mereka juga berisik ini membuat kelasku seperti hutan.
“Wawawawahahahahha!” Kata temanku.
“Hei kau jangan berisik!” Kata temanku yang lainnya.
“Urusi urusanmu sendiri jangan campuri urusanku!”
“Apa yang kau bilang!” Begitulah setidaknya temanku yang menegur pertama kali ikut terjerumus.
“Wawawawawawawa!”
“Wiwiwiwiwiwiwi!” Begitulah sekiranya setiap pagi dimulai dengan kera unggul satu menganggu kera unggul yang lainnya. Terkadang cukup menyenangkan berkomunikasi dengan mereka, namun terkadang hanyalah jarang. Yang lebih penting spesies kera unggul ini hanya dapat diam ketika seekor manusia berpangkat guru dihadapkan pada mereka.
Begitulah hari yang kumulai dan begitu pulalah hari itu berlalu. Bel sudah berdering dengan keras pada sore hari dan begitulah sekolah hari ini diakhiri. Hari berjalan seperti biasa dengan teman-temanku yang berisik dan juga mengangguku dan aku hanya dapat tersenyum layaknya aktor mendalami perannya. Aku sudah cukup lelah seharian berada di ruangan kelas itu, ya walaupun aku sempat istirahat tapi itu hanya meredakannya untuk sebentar. Kuberjalan sambil menggendong tasku dipundak lalu jejeran papan pengumuman menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak didepan papan itu. Tertulis di papan itu ujian akhir akan segera datang, dan ya aku siswa tahun terakhir, dan ya lagi, ini membuatku depresi.
            Kompetisi yang secara tersirat diadakan pihak yang mengaku sebagai pendidik membuatku berpikir terlampau jauh kedepan. Mereka seakan-akan menuntut untuk yang paling sempurna hanya dengan kicauan-kicauan mereka yang sama membingunkan maknanya dengan suara burung-burung tadi. Itu semua membuatku kawatir akan nilaiku pada ujian akhir nanti. Semua bilang tanpa angka-angka ‘indah’ itu hidupku akan berubah. Saat mengatakan kata berubah nada mereka rendah. Saat mengatakan dengan nada rendah mereka seakan marah. Aku merasa seperti dipelototi setan-setan dari jahanam saat mendengar itu semua. Semua itu hanya membuatku selalu mencari pengalihan.
            “Hey, apa yang kau lihat?” Tanya suara dari belakangku. Itu adalah dirinya yang sedang dibelakangku itu.
            “Kau lihat semua ini? Apa pendapatmu bagiku ini sampah.” Aku menyembunyikan pikiranku yang kelewat jauhnya itu darinya.
            “Ya, kau tahulah,” dia membentuk tangannya seperti kumis lalu meletakannya dibawah hidungnya sambil berbicara “Kita semua harus termotivasi agar dapat menjunjung negeri.” Suaranya terdengar seperti salah satu guru kami yang mendapat gelar motivator tersohor, untukku motivator tersosor.
            “Hahahahahahaha.” Begitulah kira-kira tawa kami berdua. Dapat dikatakan Bersama dirinya merupakan pengalihan yang ampuh. Kemudian kami berjalan keluar bersama-sama. karena kebetulan rumah kami dapat dikatakan sejalan, kami pulang bersama-sama.
            Entah kenapa pada perjalan pulang ini dirinya tiba-tiba bertanya padaku soal hubungan yang buatku mengatakannya saja sudah jijik. Dia bertanya padaku soal hubungan asmara. Sungguh aku benar-benar muak dengan hanya mendengar kata-kata itu yang digembor-gemborkan oleh kapitalis perasaan dalam politik kasih dan sayang.
            “Aku tak tahu apa-apa soal itu.” Aku segera menengok kearahnya setelah mengatakan kata-kata itu. Mukanya menunduk kedadanya entah apa maksutnya. Mau dikata malu juga mana mungkin, lalu dia tiba-tiba menoleh kearahku sambil tersenyum hangat dan melanjutkan obrolan dengan mengganti topik. Perkataan yang dia lontarkan setelah mulutnya melebar itu tidaklah terlalu kuperhatikan. Aku hanya terus mengingat senyum sumringah hangat tadi.
            Tibalah kami pada persimpangan jalan. Kami mengakhiri obrolan dan dirinya lanjut berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Aku masih belum berjalan lagi aku diam-diam menatapnya dari jauh sampai dirinya sedikit menengok kebelakang dan memamerkan senyumnya untuk sekian kalinya. Aku membalasnya dengan senyumku lalu berjalan lagi. Aku merasa bersalah padanya. Tampaknya aku punya jawaban untuk pertanyaannya tadi.
            Aku sudah sampai di depan rumahku. Aku sudah sampai di depan surgaku. Biarkanlah aku jelaskan arti kata ‘surga’ itu. Aku menyebutnya demikian karena hanya didalam rumahku aku merasa terasing dengan dunia yang kejam diluar sana dengan setiap saatnya tak ada yang dapat mengetahui. Aku serasa bisa melakukan apapun ketika sendirian, aku menjadi lebih percayadiri karena tak ada satupun yang akan menganggu pikiranku ketika berada dalam kesendirian ini. Aku merasa amat tamat bahagia, aku merasa di surga.
            Tidak selamanya hal ini dapat menggembirakanku. Malah terkadang hal ini membuatku merasa tertekan karena banyak pikiran. Karena sebenarnya tidak ada yang mengalihkan fokusku pada pikiranku yang terlampau jauhnya ketika sendirian. Surga ini lama-kelamaan juga akan berakhir, aku tak tahu kapan, mungkin saja sekarang namun kumohon jangan sekarang.
            Benar saja ketika aku masuk tak ada siapapun dirumah. Ibu sudah pergi setelah diberi kejutan spesial oleh bapak. Sementara bapakku itu yang diberi hak asuh mutlak sejak bertahun-tahun lalu hanya dapat menenggak air surga dan pergi mengembara ke sudut kota. Aneh rasanya memikirkan alasan bapak memberikan kejutan menghebohkan itu, karena setelahnya semua tampak abu. Aku juga bingung mengapa bapak dapat mendapat hak asuhku. Yang kuingat dulu ia mati-matian membelaku, mungkin hanya agar dia mendapat kesan baik untuk istri simpanannya.
            Aku segera berganti baju dan pergi kekamarku untuk beristirahat. Lalu aku melihat cermin yang tadi padi, aku kembali melihat lelaki itu. Wajahnya masih sama seperti tadi pagi, tak ada senyum yang mengembang malah mungkin hanya mulutnya yang tambah mengkerut. Aku alihkan pandanganku pada lelaki itu lalu pergi kekamar dengan pakaian yang sudah berganti.
            Aku hanya terdiam menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang dapat kulakukan, hal ini membuatku teringat ujian akhir akan segera datang. Aku mencoba untuk mengalihkan diriku dengan belajar walaupun hari masih sore dan sebenarnya aku benar-benar malas melakukannya. Satu jam pertama terasa baik-baik saja walaupun aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku menjadi seperti ini. Jam-jam berikutnya berjalan dengan lama dan membosankan hanya demi untuk melupakan pikiran tidak jelasku itu. Sampai jam kelima kepalaku terasa pusing sekali, ini sudah biasa terjadi namun sekarang rasanya amat dahsyat. Aku tak dapat berpikir apa-apa lagi. Segera aku langsung merebahkan diriku kekasur. Kembali aku hanya dapat menatap langit-langit, kembali aku berpikir tentang hasil ujianku nanti. Semakin aku memikirkannya semakin aku merasa bodoh. Semakin aku merasa bodoh semakin aku jatuh.
            Aku menangis. Biarlah kalian menganggapku cengeng karena ini kebenarannya bahwa aku menangis dan kepalaku serasa meledak memikirkan waktu yang akan datang yang tak akan bisa ditentang. Hari memang belum cukup malam, namun sakitku sudah tak bisa kompromi lagi. Aku terlelap layaknya orang mati, tiba-tiba dan tenang sekali.
            Aku terbangun dengan kepalaku yang masih terasa pusing dan berat. Sudah kutetapkan aku tak akan berangkat sampai aku ingat tentang kesendirian yang akanku rasakan. Masa bodoh, aku segera mandi lalu mengenakan seragam, tidak lupa minyak angin aku oleskan disamping-samping kepala. Aku pergi dengan mantap mencoba memikirkan hal-hal baik agar sakit ini segera hilang. Tentang lelaki didalam cermin itu, aku lupa untuk melihatnya di cermin, semoga dia baik-baik saja.
            Aku sampai di sekolah dengan waktu yang cepat. Sampai didepan gerbang sekolah sudah terlihat beberapa murid berdatangan, diam-diam aku mencari sosoknya. Sebuah tepukan mendarat dipundakku, aku menoleh dan ternyata itu adalah dirinya. Kami masuk kedalam sekolah sambil mengobrol sebentar. Sebenarnya aku ingin mengulang pertanyaanya yang kemarin namun begini saja sudah cukup. Ini adalah awal hari yang baik.
            Sesampainya dikelas, suasananya masih sama berisik dan kacaunya seperti biasa. Ini adalah awal hari yang buruk. Dari belakang temanku memukulku tiba-tiba tepat dikepala. Pusingku kembali lagi menyerang setelah beberapa saat yang lalu menghilang. Aku tau maksut mereka hanya bercanda namun sungguh hati tak menghadapi dengan semena-mena, ingin marah rasanya namun apa daya, terlintas dikepalaku ‘mati satu tumbuh seribu’, aku hanya diam saja.
            Jam-jam disekolah berlalu dengan sangat buruk. Candaan pukul-memukul itu berlangsung sampai bel pulang berdering. Kepalaku seakan mau pecah, langsung saja aku menggendong tasku dan berjalan pergi meninggalkan kelas. Saat didepan pintu seorang teman kembali memukulku tepat di kepala. Seketika rasa pusing itu menyebar keseluruh badanku, sungguh rasanya seakan melayang-layang. Aku hanya diam saja dan terus berjalan, aku hanya ingin segera kembali ke surgaku.
            Setelah keluar dari kelas aku malah melihat dirinya. Ini sungguh tidak bermutu, pusingku tiba-tiba hilang. Dia terlihat menunduk menghadap secarik kertas. Aku bingung apa yang ia lakukan, aku berniat untuk menghampirinya sampai dia menoleh ke arahku. Wajahnya merah dengan sedikit air mata pada matanya. Aku tak tahu apa isi kertas itu yang kutahu dia terharu, bagaimana kutahu, sudah kubilang sudah mengenalnya sejak dulu. Entah mengapa tiba-tiba muncul hasrat dalam diriku untuk membuatnya kagum. Hasrat itu muncul tiba-tiba dan tidak pastinya yang membuatku seakan-akan ingin berbuat hal besar. Apa itu hal besar? Jawabannya ujian akhir. Aku akan berusaha untuk itu dan semoga kera-kera unggul baik-baik denganku.
            Hari-hari terus berlalu dengan aku dan pikiranku yang semakin melaju. Tak tahu melaju kemana, kedepan aku tak yakin, kebelakang aku tidak mau, mari sebut saja kasus ini mundur kedepan. Setiap hari kuusahakan paham semua yang dikoar-koarkan guruku. Aku berusaha memahami segala sesuatunya mengingat jika tidak pikiran yang membawa rasa kesal itu akan datang lagi dan aku tak mau sakit lagi. Walaupun begitu pusingku malah menjadi kekasihku, dia selalu ada ketika ada aku. Hal-hal ini juga membuatku lebih jarang bertemu dengan dirinya. Kadang ketika berangkat sekolah aku bertemu dengannya, kadang juga saat pulang, semua itu tetaplah menjadi kadang. Jujur aku penasaran kemana dia sering pergi, namun dengan senyumnya yang masih tersegel rapi di ingatanku aku tetap terus melaju.
            Entah dengan kekuatan siapa teman-temanku menjadi tidak lebih meresahkan daripada sebelumnya. Mereka seakan-akan menjadi lebih baik kepadaku, lebih hebatnya lagi kepada sesamanya mereka juga berbuat hal yang sama. Aku tak yakin karena aku yang terlambat menyadarinya atau mereka yang tiba-tiba berubah, yang penting itu tidak penting. Karena yang penting sekarang hanya ujian itu.
            Hari ujian akhir telah tiba, semua terlihat merana dan terpesona secara bersamaan. Merana karena takut, terpesona karena hal baru yang akan datang. Aku sendiri bersikap biasa saja karena sikap itu yang paling cocok untukku. Beberapa hari yang lalu motivator tersosor juga kembali ditampilkan untuk membobol perasaan. Aku sendiri kembali ke biasa saja.
            Aku mengerjakan semua soal pada ujian itu dengan ganas, semuanya aku libas dengan pikiran panas. Semua dikerjakan pada kotak ajaib bercahaya yang langsung bisa memberikan nilainya ketika sudah selesai, sungguh ajaibnya sebuah keajaiban dunia. Aku cukup yakin setidaknya aku bisa mendapat nilai yang baik agar kekasihku si pusing bisa terasing.
            Semuanya sudah selesai. Manusia yang berpangkat guru menyuruh kera unggul yang berpangkat murid untuk menunggu pengumuman nilai. Kubilang juga apa, dunia semakin ajaib. Tak lama menunggu semuanya sudah berseru, berlari ke arah papan pengumuman bersama-sama menggertakkan tanah. Mereka mengerumuni papan pengumuman itu, semenara aku berada dipaling belakang menunggu sepi. Kumencari sosok itu ditengah kerumunan, aku melihatnya namun hanya sekilas sedang berebut melihat hasil ujian.
            Sekarang sudah cukup sepi. Yang mendapat nilai baik bersorak-sorak, yang jelek berserak-serak. Kembali aku melihat dirinya lagi dengan raut muka senangnya terpampang jelas, aku berencana menyapanya setelah melihat hasilku. Aku berjalan ke papan itu dengan tegang, aku mencari-cari namaku dengan mencoba tenang. Setelah beberapa saat namaku ketemu, nomer limapuluh satu dari seribu satu, malam ke lima satu dari seribu satu. Aku juga melihat Namanya tepat diatas nomerku. Aku berbalik untuk menyapanya saat kemudian aku melihat seseorang telah bersamanya. Orang itu memakai bawahan dengan sekat ditengah-tengah kakinya.
            Aku melihat senyumnya yang lebih indah dari yang pernah kuingat, sungguh itu sangat teramat nikmat. Dirinya tersenyum lebar bersamanya, dirinya bahagia bersamanya. Orang yang bersamanya juga terlihat bahagia dengan dirinya. Mereka berlalu saja berdua dengan aku yang masih mengamatinya terdiam di depan hasil akhir itu. Masa bodoh sungguh aku masa bodoh biarlah dia bersama siapa saja, asalkan aku masih melihat muka itu, asalkan aku masih melihat senyuman itu. Aku tak peduli, memang siapa yang peduli.
            Aku kembali berbalik menatap nilai-nilai yang dipaparkan rapi itu. Aku baru menyadari ada cermin disampingnya, entah cermin itu sudah ada daritadi atau tiba-tiba ada, lagipula aku tak tahu maksutnya menaruh cermin disini. Aku teringat pada lelaki di cermin, lalu aku berdiri tegak dihadapan cermin dan terlihatlah sosok lelaki itu. Sudah lama aku tak melihatnya, kusengajakan untuk tak menemuinya sebentar setidaknya sebelum ujian. Dia jauh terlihat berbeda dari terakhir kali. Sekarang senyum lebar terajut di wajahnya, senyum yang megah, senyum yang sumringah menghias wajahnya dengan kasihnya. Begitu juga denganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar