Senin, 19 Agustus 2019

Buta


Malam ini terasa amat dingin di hutan. Burung hantu bertengger di dahan-dahan pohon mengamati mangsanya. Suara air mengalir disungai terasa memperindah keheningan malam. Sungguh malam yang amat sunyi bagi jiwa yang sedang mencari.
Seorang lelaki masuk kedalam hutan, dia ketakutan, dia tak bisa melihat apa-apa semuanya tampak gelap. Dia merasa seperti orang buta. Lelaki itu mengais-ngais semak seperti binatang pengerat. Sampai-sampai semak itu terganggu olehnya.
"Apa yang sedang kau lakukan pada malam yang amat dingin ini wahai manusia?"
"Aku sedang mencari sesuatu, sesuatu yang hilang dariku."
"Lalu apa yang kau cari sampai malam begini, apa kau tak takut sendiri?"
"Justru karena rasa takutku itu aku mencari. Aku mencari istriku, istriku yang teguh dia yang selalu punya tujuan dan keyakinan bahkan disaat seperti ini. Apa kau tahu dimana dia wahai semak-semak belukar?"
"Oh sesungguhnya manusia engkau sungguh buta, engkau buta akan kesadaran. Mana mungkin aku tahu dimana istrimu yang teguh itu. Aku hanya semak belukar yang tanpa akar, tanpa pendirian. Kumenjalar kesana kemari tanpa ada yang ku mengerti. Mana kumengerti arti teguh  yang kau cari." Semak-semak itu diam beberapa saat.
"Tanya saja pada pohon, dia lebih tinggi daripada aku. Pasti ia melihat lebih jauh dan lebih tahu  daripada aku."
Lalu lelaki itu pergi mencari pohon tertinggi di hutan itu. Ia dapat mendengar setiap langkah kakinya sendiri menemani malamnya. Dia melihat sekelilingnya, banyak burung hantu disampingnya. Dia berniat bertanya pada burung-burung hantu itu soal pohon paling tinggi. Sebelum dia sempat bertanya pada burung-burung hantu itu, mereka mengeluarkan suara yang amat keras seakan-akan mengejek lelaki itu. Dia berlari-lari sambil menutup telinganya berusaha mengusir burung-burung itu.
"Pergilah kalian para pengganggu! Tidak tahukan kalian bahwa aku sedang bersedih?!"
"Apa dasarnya kau bersedih? Ooh engkau sungguh buta wahai manusia." Seekor burung hantu membalasnya. "Engkau manusia yang pantas mati, engkau pencari yang pantas mati!"
Lalu burung hantu yang berbicara itu terbang tinggi ke langit diikuti burung-burung yang lainnya, pergi meninggalkan lelaki itu. Lelaki itu bingung dengan burung-burung hantu itu. Kemudian dia melanjutkan pencariannya.
Angin bertiup kencang menerpa pohon-pohon disampingnya menggugurkan daun-daun dari dahan-dahnnya. Tiba tiba terdengar suara diantara pohon-pohon itu. Lelaki yang penasaran itu menghampiri asal suaranya.
Dia menemukan sebuah pohon besar yang amat tinggi ditengah-tengah hutan. Dia amat senang bisa menemukan pohon tertinggi di hutan itu. Tanpa banyak berpikir ia menanyai pohon itu.
"Wahai pohon yang tertinggi apa kau tahu dimana istriku?"
"Istri macam apa yang kau cari?"
"Istri ku yang cantik. Kecantikannya bisa membuatku sampai bergidik. Dia begitu sempurna untukku."
"Oh betapa butanya engkau wahai putra Adam, kau mencari istrimu yang cantik namun lihatlah aku!" Pohon itu nampak marah.
"Memang aku yang tertinggi, aku ini juga yang tertua. Namun lihatlah aku wahai putra Adam berapa kau pikir umurku ini? Lihat batangku yang kering ini  betapa jeleknya batangku! Mana kutahu kecantikan macam itu!"
"Wahai putra Adam sesungguhnya aku sungguh tua sampai-sampai bulan diatas saja tak bisa kulihat. Dan ketahuilah wahai engkau putra Adam yang buta, sebentar lagi kuakan pergi."
"Apa maksudnya perkataan mu itu wahai pohon? Bukankah itu menjadi bukti bahwa engkau telah berpengalaman? Bukannya engkau seharusnya menjadi bijak?"
"Sesungguhnya aku juga sepertimu, engkau pasti pikir aku bijak namun aku tamak. Aku selalu mencari pada satu hal saja, sampai-sampai akarku tak berkembang jauh, aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ku butuhkan, jadilah aku seperti ini." Pohon terdiam sejenak lalu berkata lagi dengan lirih.
"Oh selamat tinggal wahai putra Adam. Semoga engkau dapat terus mencari pada yang patut ditanyai." Lalu batang pohon itu ambruk kebelalang tepat didepannya meninggalkan akarnya menancap ditanah. Angin yang berhembus berbau seperti tanah.
Lelaki itu melihat lingkaran pada bekas batang pohon itu. Ada begitu banyak lingkaran-lingkaran tanda pohon itu sudah sangat tua. Dia kebingungan kemana lagi ia harus mencari. Lalu ia teringat perkataan pohon tadi tentang bulan. Lelaki itu mendongak keatas dan melihat bulan. Bulan itu tidak terlihat jelas karena tertutup pepohonan.
Kemudian ia berlari kencang untuk keluar dari hutan. Untuk melihat sang bulan dengan jelas, untuk bertanya padanya. Dia sudah melihat cahaya terang bulan didepannya. Tiba-tiba seekor burung hantu jatuh dihadapannya.
Burung hantu itu mulai berbicara dengan suara lirih. "Apa kau belum paham juga wahai si pencari?"
"Ya aku paham semuanya bahwa kau ini bodoh dan munafik, lihat dirimu sendiri sekarang! Sekarang kau yang malah akan mati!"
"Pohon tua itu sudah bersabda padamu, dia sudah menyampaikannya padamu. Mungkin kau bukan hanya buta saja, mungkin kau juga tuli."
"Ah persetan dengan segala bualanmu! Sekarang matilah aku harus terus mencari istriku yang kucintai!" Lelaki itu menginjak tubuh buruh hantu itu dengan keras berkali-kali.
"Hahaha siapa juga yang akan mati? Selamat tinggal wahai sang pencari semoga engkau cepat mati!" Tanah menelan tubuh burung itu, tidak ada yang tersisa ditanah kecuali jejak kaki lelaki itu.
Lelaki itu berlari lebih cepat lagi untuk keluar dari hutan. Saat dia sudah benar-benar di tanah lapang dia mendongak kelangit dan berteriak dengan keras.
"Oh wahai bulan yang indah dan agung. Apakah engkau tahu dimana istri tercintaku?"
"Wahai  yang hidup, istri seperti apa yang kau cari?"
"Dia istriku yang indranya tajam, yang selalu peka dan perhatian apalagi kepadaku saat dunia menghantamku."
"Oh wahai yang hidup mana kutahu seorang wanita yang seperti engkau katakan itu. Aku tidak peduli dengan sesuatu yang lain kecuali diriku sendiri." Malam nampak akan berakhir saat itu juga, lalu bulan berkata lagi. "Buktinya lihat sekarang, aku muncul saat kalian yang hidup beristirahat, dunia tak akan menghantam orang-orang yang beristirahat. Lalu lihat saat pagi nanti saat dunia mengepalkan tinjunya, kemana aku? Aku telah bersama orang-orang yang beristirahat dilain tempat."
"Bukankah cahayamu itu yang telah memberi ketentraman malam? Bukankah kau itu juga peduli, maka dari itu tolong cari lah istriku dari atas sana sebelum malam mencengangkan ini berlalu."
"Aah kau terlalu banyak berbicara wahai yang hidup, yang buta. Selamat tinggal, saatnya aku mencari orang-orang yang beristirahat yang tak akan peduli dengan segala hal tentang dunia yang fana ini."
Ayam berkokok dan bulan pun menghilang di barat, sementara matahari muncul dari timur dengan cahanya paginya.
"Persetan juga denganmu bulan! Mari kutanya kau wahai matahari apakah kau tahu dimana istriku? Kau muncul saat semua ada seharusnya kau tahu."
"Tidak bisakah kau berbicara dengan sopan wahai yang hidup. Istri seperti apa yang kau cari?"
"Dia istriku yang selalu berpikiran positif, jiwanya selalu terasa cerah ketimbang jiwaku, dia yang selalu menenangkanku. Apa engkau tahu dimana jiwa cerah itu?"
"Ya aku tahu." Perkataan matahari itu membuat lelaki itu tersenyum gembira sampai matahari mulai berbicara lagi. "Aku tahu kau mencari hal yang buntu."
"Apa maksutmu dengan yang buntu? Kupikir cahayamu sama dengan cahaya jiwa istriku itu."
"Pikiranmu telah membutakanmu, apa kau tak pernah berpikir aku ini kepanasan? Aku terlalu berpikir positif pada kalian yang hidup, yang hidup yang menanam, yang hidup yang saling menghancurkan, dan jadilah aku seperti ini."
"Apa-apaan lagi semua ini!" Lelaki itu nampak kesal.
"Kau tak mengerti energiku menjadi cahayaku, cahayaku menjadi panasku, dan jadilah aku. Oh selamat tinggal wahai yang hidup aku juga sudah muak dengan kelancanganmu itu." Matahari terdiam dan cahayanya menjadi semakin cerah dan semakin panas.
"Dasar kalian semua setan!" Lelaki itu marah, dia menginjak-injak tanah berkali-kali sambil melompat-lompat layaknya orang gila. "Aku merana aku merana aku merana!"
Tiba-tiba tanah disekitarnya bergetar cukup keras sampai membuatnya terjatuh. Dia berusaha berdiri lagi sambil bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Getaran tanah tadi menghilangkan sedikit amarahnya membuatnya kebingungan.
"Diamlah kau wahai manusia sinting!" Tanah mulai terlihat marah pada lelaki itu, namun lelaki itu malah terlihat senang.
"Oh wahai tanah apa kau tahu dimana ist-."
"Jadi kau masih ingin mencari? Apa kau tak sadar engkau sudah bertamya kesana kemari tanpa menemukan jawaban pasti namun kau masih mau mencari, sungguh gila diri engkau."
"Bagaimana kau tahu semuanya wahai tanah? Aku belum pernah sekalipun berbicara denganmu."
"Apa kau tak sadar siapa diriku? Aku lah tanah, akulah yang selalu engkau pijak akulah yang mengetahui segala yang ada di daratan. Kau sudah lihat bagaimana aku menelan burung hantu yang malang, engkau sudah lihat semua, engkau sudah tahu semuanya." Tanah terdiam sesaat lalu berkata lagi dengan keras, "oh maaf aku lupa, kau ini kan buta."
Lelaki itu tidak marah, sekarang ia hanya diam saja lalu berkata pada tanah, "sesungguhnya tanah jika kau tahu segalanya lalu apa maksudnya buta untukku? Semua yang kutanyai dari tadi berkata aku buta jelaskan apa maksutnya agar aku tidak buta!"
"Baiklah terserah kau saja."
"Kau bertanya pada semak belukar tentang istrimu yang teguh yang kau kata yang selalu punya tujuan dan keyakinan. Saking butanya engkau, kau bertanya pada semak belukar yang tanpa akar yang dia sendiri tidak tahu mengapa dirinya ada, sungguh kau tidak sadar karena kebutaanmu."
"Mana kutahu tentang itu sebelumnya wahai tanah," lelaki itu membantah tanah.
"Kalau begitu saat kau bertanya pada pohon kau bertanya tentang istrimu yang kau kata cantik. Engkau bertanya kecantikan pada suatu yang hanya tahu keburukan, kau sendiri seharusnya sudah tahu dari batangnya, dia sendiri sudah mengatakannya padamu."
"Bukankah pohon sudah bersabda betapa jeleknya ketamakan, betapa jeleknya mencari kepada satu hal saja?"
"Aku tidak paham apa yang kau maksut, mungkin kau sama bodohnya dengan burung hantu yang mati wahai tanah." Lelaki itu mulai muak pada tanah karena jawabannya.
"Mari kujabarkan untuk kedunguanmu. Kau percaya pada istrimu yang berkeyakiann yang teguh sementara selama ini kulihat kau tak benar-benar yakin pada apapun bahkan saat kau menikahinya kau masih mempertimbangkan yang lainnya."
"Apa-apaan kau ini! Jelas aku mencintainya."
"Lalu kemana dia sekarang? Apa kau masih yakin dia yakin padamu? Lalu soal ketamakan, selama ini kulihat kau malah terlalu yakin pada hartamu. Kau terlalu yakin tentang itu sehingga yang kau cari hanya itu-itu saja yang kuyakin kau tak tahu apa maknanya."
"Itu semua untuk kesenangan istriku."
"Oh jadi kau yakin dia senang? Jadi kau mencari-cari kesenangannya, lalu mengapa sekarang kau malah mencari dirinya bukan menikmati kesenangan bersamanya. Dan sesungguhnya si burung hantu selayaknya menjadi malaikat bagimu, dia sudah memperingatkanmu untuk berhenti mencari karena ia tahu arti semua ini."
Lelaki itu malah gemetaran sekarang. "Ba-baiklah! Kau benar. Tapi itu belum menjawab semuanya, bagaimana dengan jawaban bulan dan matahari?"
"Bukankah semua itu sudah jelas kau bertanya kepada yang tak patut ditanyai. Kau bertanya dimana istrimu yang kau kata selalu peduli, lalu  bulan berkata bahwa seindah-indahnya cahanya dia sama sekali tidak peduli pada kalian semua, sama halnya dengan kau yang mungkin tidak peduli pada istrimu namun hanya kebahagiannya."
"Bukankah yang terpenting dalam hidup adalah bahagia?" Lelaki itu malah membantah lagi.
"Lalu dimana dia sekarang? Dimana kebahagiannya?." Lelaki itu menatap kosong ketanah setelah mendengar perkataan itu, "lalu kau bertanya pada matahari tentang istrimu yang kau kata juga orang yang selalu berpikir positif sementara matahari merana karena pikiran positifnya. Istrimu juga merana karena hal yang sama dengan matahari."
"Tunggu, jadi kau tahu dimana dia?"
"Tentu, bukankah aku sudah bilang padamu aku tahu segalanya yang ada di daratan," tanah terdiam beberapa saat, lalu sesuatu muncul dari dalam tanah.
Kerangka manusia keluar dari dalam tanah dan kemudian berdiri tegak. Tidak berdaging hanya tulang yang amat putih saja yang terlihat pada kerangka itu. Kerangka itu seakan-akan menatap laki-laki itu dengan tajam.
"Apa maksutnya ini?." Tubuh lelaki itu gemetaran karena ketakutan.
"Kau meminta istrimu, kuberi kau istrimu. Lihatlah sekarang buah dari perbuatanmu."
Kerangka itu mulai berjalan ke arah lelaki itu. Berjalan dengan setiap sendinya bersuara, membuat jejak kaki yang mengerikan. Kerangka itu menyentuh wajah lelaki didepannya. Laki-laki itu mulai meneteskan air mata, dia menyentuh tengkorak kerangka itu.
"Ya, benar ini istriku! Betapa butanya aku, hei tanah injinkan aku menari dengannya!"
"Kau tak memerlukan ijinku, berbuatlah sesukamu. Namun ijinkan aku mengatakan beberapa patah kata." Lelaki itu tidak memperhatikan dia langsung menggapai tangan kerangka didepannya dan menari dengan anggun.
"Lihatlah tatapan kosong pada tengkorak istrimu. Itu karena kau tak pernah yakin padanya."
Lelaki itu semakin cepat menari.
"Lihatlah tengkorak istrimu betapa buruk keadaanya. Itu karena kau hanya peduli pada fisik kecantikan."
Lelaki itu mulai memejamkan mata namun masih saja menari-nari.
"Lihatlah tubuhnya, yang dulunya berisi daging yang kau puja sekarang tinggal tulang malang saja. Itu karena kau terlalu tamak dan tak peduli dengan istrimu."
Lelaki itu membuka matanya lagi sambil air mata mengucur deras dari kedua bola matanya.
"Oh dan yang terakhir, lihatlah pada genggamanmu sendiri. Kau genggam tulang itu dengan erat saat semua sudah terlambat, sungguh positifnya engkau."
Lelaki itu mulai berbicara lagi kepada tanah, "wahai tanah inilah saatku! Inilah nasibku! Inilah ajalku! Kubur aku dalam-dalam bersama istriku."
"Terserah kau saja temanku, selamat tinggal sang pencari. Selamat juga karena kau akan mati." Tanah seakan-akan menelan tubuh lelaki itu, melahapnya tanpa sisa begitu juga dengan tulang belulangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar