Selasa, 14 April 2020

Eksistensi

Eksistensi

Orang-orang baik.

Pekerja itu orang baik.
Pemalas itu orang baik.

Pengemis itu orang baik.
Saudagar korup itu orang baik.

Dokter itu orang baik.
Dukun sesat itu orang baik.

Pelajar itu orang baik.
Preman itu orang baik.

Polisi itu orang baik.
Pencuri itu orang baik.

Tentara itu orang baik.
Teroris itu orang baik.

Selebriti itu orang baik.
Pengedar narkoba itu orang baik.

Pemuka agama itu orang baik.
Peminum itu orang baik.

Saya? Aku? Beta? Orang.
Orang-orangan sawah.

Minggu, 10 November 2019

Mereka


Mereka
            Kulihat lelaki itu didalam cermin. Aku tidak yakin apa yang ia lakukan di dalam sana, aku saja tidak tahu apakah ia sungguh di dalam atau hanya di permukaan cermin. Satu yang pasti lelaki itu nampak sedih. Sudah terlihat dari raut wajahnya kesedihan yang dalam. Tak jelas juga apa kesedihan itu namun siapa yang peduli. Melihat raut muka lelaki itu orang-orang pasti jadi ikutan murung.
            Begitulah setiap pagi terjadi, setiap aku bangun dan menghadap cermin. Aku punya firasat ini hantu, namun apa benar ini hantu? Kalau ini hantu aku tak akan mengusirnya. Ini tidak pula menyenangkan tidak pun menyedihkan. Ini hanya unik bagiku sebagai manusia yang selalu melihat seorang pemurung sebelum mengawali harinya yang entah apa tujuannya. Tapi jika dipikir lagi itu tidaklah lagi seperti itu, tujuanku sekarang ke sekolah.
            Aku pun segera pergi mandi menghilangkan segala dosa yang tidur pada permukaan kulitku. Pernah sekali aku bermimpi air di bak mandi berubah menjadi darah. Pada mimpi yang aneh sekaligus menggelikan itu aku mandi seakan mandi untuk pertama kalinya setelah lima puluh satu tahun mendekam di dalam tanah. Karena pada saat mimpi itu terjadi aku adalah setan. Bak mandiku saat mimpi itu terjadi adalah tungku api. Gayungku pada saat itu terbuat dari tengkorak yang dipecah sehingga menciptakan gayung yang unik. Namun mimpi itu sudah lama kualami, aku juga sudah lupa kapan aku bermimpi lagi. Barangkali ketika bapak memberi ibuku kejutan dengan surat dari meja hijau.
            Kusudahi mandiku segera setelah kusadari waktu yang tersisa sebelum aku terlambat. Aku mengenakan seragamku yang atasannya sewarna awan dan bawahannya sewarna awan mendung. Aku tak sarapan, kata itu tak ada dalam kamus keseharianku. Segera saja kuambil tasku dan dengan biasa saja keluar dari rumah ke dunia yang penuh nestapa.
            Memang aku hanya berjalan kaki dan waktu semakin mengejarku. Namun aku punya keyakinan setelat-telatnya aku tidak boleh terburu-buru. Siapa juga yang mau meninggalkan pagi yang kesiangan ini. Burung-burung juga masih berkicau pada pohon-pohon disampingku. Aku bertanya-tanya pada yang menyebut kicauan burung itu merdu. Memang aku tak menyangkal bahwa suara itu terasa nyaman ditelingaku, namun pernahkah kita semua tahu apa maksut dari suara yang tidak jelas itu.
            “Bebaskan aku manusia sialan!” Kata burung didalam sangkar.
            “Beri aku makan dasar kalian manusia serakah!” Kata burung di taman.
            “Bentar lagi aku akan mati, terkutuklah kalian manusia egois! Mana macan-macan kecil itu. Aku mau bersujud pada mereka.” Kata burung yang terjatuh di trotoar.
            Itu semua hanya kemungkinan, aku sendiri tak peduli pada maknanya yang kutahu aku nyaman mendengarnya.
            Tibalah aku didepan gerbang sekolah yang masih terbuka menampakkan gedungnya yang megah. Dengan luka tua yang menghiasi gerbang secara acak dan gedungnya yang dipenuhi zamrud yang hidup yang juga menjalar pada permukaanya. Jujur aku merasa bosan dengan ini semua sampai kumelihatnya berjalan didepanku melalui gerbang itu.
            Aku tak tahu sedari tadi aku berjalan di belakangnya, aku mulai berpikir mengapa aku tak menyadarinya sedari tadi. Mungkin karena cara jalannya yang biasa saja atau karena aku terlalu memperhatikan burung-burung tidak jelas tadi. Pasti itu karena burung-burung itu, memang sialan burung-burung itu.
            Biar kuceritakan sedikit tentang dirinya. Dia memakai seragam yang sama denganku hanya bawahannya saja yang berbeda. Miliknya tak punya sekat antara kaki yang kanan dengan yang kiri. Ya, dia seorang perempuan. Dia perempuan yang biasa saja, dia tidak bisa disebut pintar, atletispun tidak, soal rupa aku suka-suka saja. Namun sungguh dia tidak pernah menonjolkan sesuatu yang bermakna dari dirinya, malah orang-orang seperti dituntut mencari makna dari dirinya. Mengapa aku mengetahuinya? Kami sudah kenal lama, aku selalu memperhatikannya.
            Entah mungkin sadar akan keberadaanku, dia menoleh kebelakang sambil tersenyum. Aku berlari kecil menghampirinya. Kelas kami kebetulan sejalan, jadi kami mengobrol sambil berjalan santai. Kemudian aku mengingat lelaki didalam cermin. Aku mengingatnya untuk melupakannya.Setelah tiba didepan kelasku kami mengakhiri obrolan dan pergi ke kelas masing-masing.
 Aku sudah berada di dalam kelasku. Aku sudah berada di dalam nerakaku. Biar kuluruskan apa yang kumaksut ‘neraka’ itu. Jujur kelas ini menakutkan namun menakjubkan, manusia disini bagaikan manusia dari dunia seberang. Teman-temanku dikelas ini dapat dikatakan punya hobi yang sama, yaitu mennganggu satu sama lain. Itu hal menakutkannya. Hal menakjubkannya adalah soal hobi mereka itu. Sungguh menakutkan sekali bagiku didalam struktur sosial ganggu-mengganggu ini. Oh, dan mereka juga berisik ini membuat kelasku seperti hutan.
“Wawawawahahahahha!” Kata temanku.
“Hei kau jangan berisik!” Kata temanku yang lainnya.
“Urusi urusanmu sendiri jangan campuri urusanku!”
“Apa yang kau bilang!” Begitulah setidaknya temanku yang menegur pertama kali ikut terjerumus.
“Wawawawawawawa!”
“Wiwiwiwiwiwiwi!” Begitulah sekiranya setiap pagi dimulai dengan kera unggul satu menganggu kera unggul yang lainnya. Terkadang cukup menyenangkan berkomunikasi dengan mereka, namun terkadang hanyalah jarang. Yang lebih penting spesies kera unggul ini hanya dapat diam ketika seekor manusia berpangkat guru dihadapkan pada mereka.
Begitulah hari yang kumulai dan begitu pulalah hari itu berlalu. Bel sudah berdering dengan keras pada sore hari dan begitulah sekolah hari ini diakhiri. Hari berjalan seperti biasa dengan teman-temanku yang berisik dan juga mengangguku dan aku hanya dapat tersenyum layaknya aktor mendalami perannya. Aku sudah cukup lelah seharian berada di ruangan kelas itu, ya walaupun aku sempat istirahat tapi itu hanya meredakannya untuk sebentar. Kuberjalan sambil menggendong tasku dipundak lalu jejeran papan pengumuman menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak didepan papan itu. Tertulis di papan itu ujian akhir akan segera datang, dan ya aku siswa tahun terakhir, dan ya lagi, ini membuatku depresi.
            Kompetisi yang secara tersirat diadakan pihak yang mengaku sebagai pendidik membuatku berpikir terlampau jauh kedepan. Mereka seakan-akan menuntut untuk yang paling sempurna hanya dengan kicauan-kicauan mereka yang sama membingunkan maknanya dengan suara burung-burung tadi. Itu semua membuatku kawatir akan nilaiku pada ujian akhir nanti. Semua bilang tanpa angka-angka ‘indah’ itu hidupku akan berubah. Saat mengatakan kata berubah nada mereka rendah. Saat mengatakan dengan nada rendah mereka seakan marah. Aku merasa seperti dipelototi setan-setan dari jahanam saat mendengar itu semua. Semua itu hanya membuatku selalu mencari pengalihan.
            “Hey, apa yang kau lihat?” Tanya suara dari belakangku. Itu adalah dirinya yang sedang dibelakangku itu.
            “Kau lihat semua ini? Apa pendapatmu bagiku ini sampah.” Aku menyembunyikan pikiranku yang kelewat jauhnya itu darinya.
            “Ya, kau tahulah,” dia membentuk tangannya seperti kumis lalu meletakannya dibawah hidungnya sambil berbicara “Kita semua harus termotivasi agar dapat menjunjung negeri.” Suaranya terdengar seperti salah satu guru kami yang mendapat gelar motivator tersohor, untukku motivator tersosor.
            “Hahahahahahaha.” Begitulah kira-kira tawa kami berdua. Dapat dikatakan Bersama dirinya merupakan pengalihan yang ampuh. Kemudian kami berjalan keluar bersama-sama. karena kebetulan rumah kami dapat dikatakan sejalan, kami pulang bersama-sama.
            Entah kenapa pada perjalan pulang ini dirinya tiba-tiba bertanya padaku soal hubungan yang buatku mengatakannya saja sudah jijik. Dia bertanya padaku soal hubungan asmara. Sungguh aku benar-benar muak dengan hanya mendengar kata-kata itu yang digembor-gemborkan oleh kapitalis perasaan dalam politik kasih dan sayang.
            “Aku tak tahu apa-apa soal itu.” Aku segera menengok kearahnya setelah mengatakan kata-kata itu. Mukanya menunduk kedadanya entah apa maksutnya. Mau dikata malu juga mana mungkin, lalu dia tiba-tiba menoleh kearahku sambil tersenyum hangat dan melanjutkan obrolan dengan mengganti topik. Perkataan yang dia lontarkan setelah mulutnya melebar itu tidaklah terlalu kuperhatikan. Aku hanya terus mengingat senyum sumringah hangat tadi.
            Tibalah kami pada persimpangan jalan. Kami mengakhiri obrolan dan dirinya lanjut berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Aku masih belum berjalan lagi aku diam-diam menatapnya dari jauh sampai dirinya sedikit menengok kebelakang dan memamerkan senyumnya untuk sekian kalinya. Aku membalasnya dengan senyumku lalu berjalan lagi. Aku merasa bersalah padanya. Tampaknya aku punya jawaban untuk pertanyaannya tadi.
            Aku sudah sampai di depan rumahku. Aku sudah sampai di depan surgaku. Biarkanlah aku jelaskan arti kata ‘surga’ itu. Aku menyebutnya demikian karena hanya didalam rumahku aku merasa terasing dengan dunia yang kejam diluar sana dengan setiap saatnya tak ada yang dapat mengetahui. Aku serasa bisa melakukan apapun ketika sendirian, aku menjadi lebih percayadiri karena tak ada satupun yang akan menganggu pikiranku ketika berada dalam kesendirian ini. Aku merasa amat tamat bahagia, aku merasa di surga.
            Tidak selamanya hal ini dapat menggembirakanku. Malah terkadang hal ini membuatku merasa tertekan karena banyak pikiran. Karena sebenarnya tidak ada yang mengalihkan fokusku pada pikiranku yang terlampau jauhnya ketika sendirian. Surga ini lama-kelamaan juga akan berakhir, aku tak tahu kapan, mungkin saja sekarang namun kumohon jangan sekarang.
            Benar saja ketika aku masuk tak ada siapapun dirumah. Ibu sudah pergi setelah diberi kejutan spesial oleh bapak. Sementara bapakku itu yang diberi hak asuh mutlak sejak bertahun-tahun lalu hanya dapat menenggak air surga dan pergi mengembara ke sudut kota. Aneh rasanya memikirkan alasan bapak memberikan kejutan menghebohkan itu, karena setelahnya semua tampak abu. Aku juga bingung mengapa bapak dapat mendapat hak asuhku. Yang kuingat dulu ia mati-matian membelaku, mungkin hanya agar dia mendapat kesan baik untuk istri simpanannya.
            Aku segera berganti baju dan pergi kekamarku untuk beristirahat. Lalu aku melihat cermin yang tadi padi, aku kembali melihat lelaki itu. Wajahnya masih sama seperti tadi pagi, tak ada senyum yang mengembang malah mungkin hanya mulutnya yang tambah mengkerut. Aku alihkan pandanganku pada lelaki itu lalu pergi kekamar dengan pakaian yang sudah berganti.
            Aku hanya terdiam menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang dapat kulakukan, hal ini membuatku teringat ujian akhir akan segera datang. Aku mencoba untuk mengalihkan diriku dengan belajar walaupun hari masih sore dan sebenarnya aku benar-benar malas melakukannya. Satu jam pertama terasa baik-baik saja walaupun aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku menjadi seperti ini. Jam-jam berikutnya berjalan dengan lama dan membosankan hanya demi untuk melupakan pikiran tidak jelasku itu. Sampai jam kelima kepalaku terasa pusing sekali, ini sudah biasa terjadi namun sekarang rasanya amat dahsyat. Aku tak dapat berpikir apa-apa lagi. Segera aku langsung merebahkan diriku kekasur. Kembali aku hanya dapat menatap langit-langit, kembali aku berpikir tentang hasil ujianku nanti. Semakin aku memikirkannya semakin aku merasa bodoh. Semakin aku merasa bodoh semakin aku jatuh.
            Aku menangis. Biarlah kalian menganggapku cengeng karena ini kebenarannya bahwa aku menangis dan kepalaku serasa meledak memikirkan waktu yang akan datang yang tak akan bisa ditentang. Hari memang belum cukup malam, namun sakitku sudah tak bisa kompromi lagi. Aku terlelap layaknya orang mati, tiba-tiba dan tenang sekali.
            Aku terbangun dengan kepalaku yang masih terasa pusing dan berat. Sudah kutetapkan aku tak akan berangkat sampai aku ingat tentang kesendirian yang akanku rasakan. Masa bodoh, aku segera mandi lalu mengenakan seragam, tidak lupa minyak angin aku oleskan disamping-samping kepala. Aku pergi dengan mantap mencoba memikirkan hal-hal baik agar sakit ini segera hilang. Tentang lelaki didalam cermin itu, aku lupa untuk melihatnya di cermin, semoga dia baik-baik saja.
            Aku sampai di sekolah dengan waktu yang cepat. Sampai didepan gerbang sekolah sudah terlihat beberapa murid berdatangan, diam-diam aku mencari sosoknya. Sebuah tepukan mendarat dipundakku, aku menoleh dan ternyata itu adalah dirinya. Kami masuk kedalam sekolah sambil mengobrol sebentar. Sebenarnya aku ingin mengulang pertanyaanya yang kemarin namun begini saja sudah cukup. Ini adalah awal hari yang baik.
            Sesampainya dikelas, suasananya masih sama berisik dan kacaunya seperti biasa. Ini adalah awal hari yang buruk. Dari belakang temanku memukulku tiba-tiba tepat dikepala. Pusingku kembali lagi menyerang setelah beberapa saat yang lalu menghilang. Aku tau maksut mereka hanya bercanda namun sungguh hati tak menghadapi dengan semena-mena, ingin marah rasanya namun apa daya, terlintas dikepalaku ‘mati satu tumbuh seribu’, aku hanya diam saja.
            Jam-jam disekolah berlalu dengan sangat buruk. Candaan pukul-memukul itu berlangsung sampai bel pulang berdering. Kepalaku seakan mau pecah, langsung saja aku menggendong tasku dan berjalan pergi meninggalkan kelas. Saat didepan pintu seorang teman kembali memukulku tepat di kepala. Seketika rasa pusing itu menyebar keseluruh badanku, sungguh rasanya seakan melayang-layang. Aku hanya diam saja dan terus berjalan, aku hanya ingin segera kembali ke surgaku.
            Setelah keluar dari kelas aku malah melihat dirinya. Ini sungguh tidak bermutu, pusingku tiba-tiba hilang. Dia terlihat menunduk menghadap secarik kertas. Aku bingung apa yang ia lakukan, aku berniat untuk menghampirinya sampai dia menoleh ke arahku. Wajahnya merah dengan sedikit air mata pada matanya. Aku tak tahu apa isi kertas itu yang kutahu dia terharu, bagaimana kutahu, sudah kubilang sudah mengenalnya sejak dulu. Entah mengapa tiba-tiba muncul hasrat dalam diriku untuk membuatnya kagum. Hasrat itu muncul tiba-tiba dan tidak pastinya yang membuatku seakan-akan ingin berbuat hal besar. Apa itu hal besar? Jawabannya ujian akhir. Aku akan berusaha untuk itu dan semoga kera-kera unggul baik-baik denganku.
            Hari-hari terus berlalu dengan aku dan pikiranku yang semakin melaju. Tak tahu melaju kemana, kedepan aku tak yakin, kebelakang aku tidak mau, mari sebut saja kasus ini mundur kedepan. Setiap hari kuusahakan paham semua yang dikoar-koarkan guruku. Aku berusaha memahami segala sesuatunya mengingat jika tidak pikiran yang membawa rasa kesal itu akan datang lagi dan aku tak mau sakit lagi. Walaupun begitu pusingku malah menjadi kekasihku, dia selalu ada ketika ada aku. Hal-hal ini juga membuatku lebih jarang bertemu dengan dirinya. Kadang ketika berangkat sekolah aku bertemu dengannya, kadang juga saat pulang, semua itu tetaplah menjadi kadang. Jujur aku penasaran kemana dia sering pergi, namun dengan senyumnya yang masih tersegel rapi di ingatanku aku tetap terus melaju.
            Entah dengan kekuatan siapa teman-temanku menjadi tidak lebih meresahkan daripada sebelumnya. Mereka seakan-akan menjadi lebih baik kepadaku, lebih hebatnya lagi kepada sesamanya mereka juga berbuat hal yang sama. Aku tak yakin karena aku yang terlambat menyadarinya atau mereka yang tiba-tiba berubah, yang penting itu tidak penting. Karena yang penting sekarang hanya ujian itu.
            Hari ujian akhir telah tiba, semua terlihat merana dan terpesona secara bersamaan. Merana karena takut, terpesona karena hal baru yang akan datang. Aku sendiri bersikap biasa saja karena sikap itu yang paling cocok untukku. Beberapa hari yang lalu motivator tersosor juga kembali ditampilkan untuk membobol perasaan. Aku sendiri kembali ke biasa saja.
            Aku mengerjakan semua soal pada ujian itu dengan ganas, semuanya aku libas dengan pikiran panas. Semua dikerjakan pada kotak ajaib bercahaya yang langsung bisa memberikan nilainya ketika sudah selesai, sungguh ajaibnya sebuah keajaiban dunia. Aku cukup yakin setidaknya aku bisa mendapat nilai yang baik agar kekasihku si pusing bisa terasing.
            Semuanya sudah selesai. Manusia yang berpangkat guru menyuruh kera unggul yang berpangkat murid untuk menunggu pengumuman nilai. Kubilang juga apa, dunia semakin ajaib. Tak lama menunggu semuanya sudah berseru, berlari ke arah papan pengumuman bersama-sama menggertakkan tanah. Mereka mengerumuni papan pengumuman itu, semenara aku berada dipaling belakang menunggu sepi. Kumencari sosok itu ditengah kerumunan, aku melihatnya namun hanya sekilas sedang berebut melihat hasil ujian.
            Sekarang sudah cukup sepi. Yang mendapat nilai baik bersorak-sorak, yang jelek berserak-serak. Kembali aku melihat dirinya lagi dengan raut muka senangnya terpampang jelas, aku berencana menyapanya setelah melihat hasilku. Aku berjalan ke papan itu dengan tegang, aku mencari-cari namaku dengan mencoba tenang. Setelah beberapa saat namaku ketemu, nomer limapuluh satu dari seribu satu, malam ke lima satu dari seribu satu. Aku juga melihat Namanya tepat diatas nomerku. Aku berbalik untuk menyapanya saat kemudian aku melihat seseorang telah bersamanya. Orang itu memakai bawahan dengan sekat ditengah-tengah kakinya.
            Aku melihat senyumnya yang lebih indah dari yang pernah kuingat, sungguh itu sangat teramat nikmat. Dirinya tersenyum lebar bersamanya, dirinya bahagia bersamanya. Orang yang bersamanya juga terlihat bahagia dengan dirinya. Mereka berlalu saja berdua dengan aku yang masih mengamatinya terdiam di depan hasil akhir itu. Masa bodoh sungguh aku masa bodoh biarlah dia bersama siapa saja, asalkan aku masih melihat muka itu, asalkan aku masih melihat senyuman itu. Aku tak peduli, memang siapa yang peduli.
            Aku kembali berbalik menatap nilai-nilai yang dipaparkan rapi itu. Aku baru menyadari ada cermin disampingnya, entah cermin itu sudah ada daritadi atau tiba-tiba ada, lagipula aku tak tahu maksutnya menaruh cermin disini. Aku teringat pada lelaki di cermin, lalu aku berdiri tegak dihadapan cermin dan terlihatlah sosok lelaki itu. Sudah lama aku tak melihatnya, kusengajakan untuk tak menemuinya sebentar setidaknya sebelum ujian. Dia jauh terlihat berbeda dari terakhir kali. Sekarang senyum lebar terajut di wajahnya, senyum yang megah, senyum yang sumringah menghias wajahnya dengan kasihnya. Begitu juga denganku.

Minggu, 20 Oktober 2019

Berita dari Barat


Berita dari Barat
              Baja-baja beroda berlalulalang di jalan didepan pasar. Entah sudah berapa hari hal ini terjadi. Entah sudah berapa bulan ini terjalani. Entah sudah berapa tahun ini dilewati. Baja-baja beroda itu berasal dari barat, entah apa gunanya setahuku mereka hanya dapat mondar-mandir tidak jelas. Terlihat lenggang namun sedang tegang, karena itu namanya kendaraan perang. Terlihat besar dan kuat, nampak cepat dan sehat, kelihatan tangguh namun hanya dapat melenguh. Aku menyebutnya  baja adiraja barat melarat, terdengar sarat tetapi sesungguhnya serat.
              Aku yang hanya berdiri dipinggir jalan didepan pasar yang hanya memperhatikan para baja adiraja barat melarat itu terkagum-kagum ketika melihat sebuah mobil kecil melintas dengan cepatnya, bahkan para barat itu sampai geleng-geleng sendiri. Hanya dengan sekali kedipan mata mobil itu sudah berada didepanku. Kaca pengemudinya terbuka dan kemudian menunjukkan ibu jarinya yang terangkat mantab  tanda aku boleh masuk. Aku yang kagum kebingungan terbingung-bingung masuk kedalam mobil tersenyum-senyum dikursi penumpang.
              Mobil ini terasa luas didalam tapi tadi nampak kecil diluar mungkin saja sudah melar. Aku masih tidak tahu apa tujuan si sopir mengijinkanku masuk mobil ini, yang kutahu mobil ini melaju dengan cepat. Aku juga tak tahu kemana tujuannya semua kacanya terlihat sangat gelap begitu juga dengan kaca depan.
              “Maaf, tapi kemana kendaraan ini akan pergi?” Tidak ada jawaban, lalu aku hanya diam saja. Rasanya mobil ini melaju semakin cepat.
              Aku tak tahu sudah berapa lama aku berada didalam mobil ini. Rasanya sudah lama sekali. Aku juga sudah bertanya berkali-kali tapi si sopir tak menjawab, aku juga belum tahu seperti apa rupanya. Aku meraih pundaknya menariknya kebelakang agar aku bisa melihat rupanya. Aku terkaget-kaget ketika melihat rupanya yang tak berupa itu.
              Benar-benar rata rupanya itu sampai aku bingung mana yang benar dan benar-benar. Ditengah kekagetanku si supir mengangkat ibu jarinya.
              “Apa maksudmu?”
              Si sopir membalikkan ibu jarinya dan mobil berhenti mendadak, aku yang duduk tanpa sabuk pengaman (karena mobil mengagumkan ini tak punya benda itu) terlempar kedepan ke kaca depan. Aku membentur kaca itu dan kaca itu pecah, kaca itu kubentur lalu dianya terpisah-pisah, sungguh aku tidak tahu mana yang benar-benar benar sekarang aku hanya terkapar melihat mobil menakjubkan itu mengangkut dua penumpang lalu berlalu sambil terbang. Aku yang terluntang-lantung bangun lalu masuk ke dalam pasar, karena sesungguhnya mobil itu hanya memutari pasar.
              Apa aku lupa bilang kalau pasar ini pasar ajaib. Kalau begitu maafkan aku, pasar ini pasar ajaib. Kau dapat menemukan setan, malaikat, genderuwo, vampir (saking ajaibnya tempat ini mereka menjadi tahan sinar matahari), mayat hidup, kuntilanak, tuyul, semua makhluk yang engkau cari ada disini. Yang dari dongeng barat maupun mitos timur semuanya hadir disini. Tempat apapun yang kau cari semuanya juga ada disini, lengkap selengkap-lengkapnya. Namun aku hanya terkagum dengan orang gila yang duduk gemetaran sambil menunjuk-nunjuk bar tempat minum. Aku melihat beberapa malaikat minum-minum disana. Anggur, arak, bir, wiski, vodka, ciu, tuak, sake, soju, kencing kuda, semuanya terlihat lengkap dimeja para malaikat itu.
              “Kau lihat itu? Lihat itu lihat lihat itu lihat itu!” Orang gila itu membuka matanya lebar-lebar sambil masih menunjuk-nunjuk tempat itu.
              “Ya, aku melihatnya. Aku tidak tahu malaikat suka minum sebelumnya.”
              “Ini tanda keberkahan! Sekarang tanggal tiga belas bukan waktu untuk malas-malas ini waktu hancur-hancur!” Katanya yang membuatku sadar aku sudah berada dalam mobil itu selama tiga belas hari. Aku yang bingung dengan perkataanya hanya dapat berkata “apa maksudmu?”
              “Ah kawanku, oh temanku, uh sahabatku ini hari kehancuran, ini hari tanggal tiga belas, semua akan hancur! Lihat malaikat-malaikat itu minum dengan hebatnya sementara setan-setan berkeliaran menyebarkan amalan-amalan. Oh bukannya ini keberkahan kita akan mengalami kehancuran?”
              “Masak? Tak ada rudal, tak ada bom, tak ada peluru, kamu sedang melucu? Barangkali kau belum dengar semua itu telah ditiadakan.”
              “Bohong! Kamu bohong sama aku, daku tidak percaya dengan baginda.” Orang gila itu diam sebentar sambil menunjuk-nunjuk langit lalu tanah lalu berkata lagi “bagaimana dengan surga dan neraka yang datang pada tanggal tiga dua?”
              “Mana kutahu, bisa saja mereka sudah tiada saat sebelum kedatangannya yang selanjutnya.”
              “Masak? Tak ada topan, tak ada tsunami, tak ada gempa, kamu sedang bercanda?” Aku hanya dapat tersenyum sambal berkata “tidak, tapi aku ragu kalau kau tahu.” Lalu aku pergi meninggalkannya.
              Aku melirik sedikit kebelakang lalu kulihat orang gila tadi membuka tutup tangannya dan menunjuk-nunjuk langit serta tanah dengan mantabnya sampai raksasa dibelakangnya gemetaran. Lalu aku sadar saat orang gila itu membuka kedua tanggannya jari tengahnya hilang pergi entah kemana. Barangkali hilangnya jari itu yang membuatnya gila, namun aku masih kagum terpesona olehnya. Kegilaanya tidak hilang oleh ajaibnya pasar yang megah nan membahana.
              Lalu aku melihat sepasang pasangan tua bergandengan dan berjalan ke Tukang peralatan setan. Mereka sangat tua hingga yang didepan selalu terlihat menyeret yang dibelakang ketika berjalan ke Tukang peralatan setan. Semua orang yang kebingungan selalu pergi ke Tukang peralatan setan. Semua orang tahu tentang Tukang peralatan setan, semua orang juga tahu dimana Tukang peralatan setan yang punya segala macam penyelesaian dari yang kecil sampai ke tak hingga. Tidak mungkin tidak ada yang pernah memikirkan tentang Tukang peralatan setan.
              Mulailah sepasang kekasih tua itu berlutut meminta pada tukang peralatan setan yang hanya berdiri tegak melirik bengis pada sepasang kekasih tua itu.
              “Ya tuan set-an…, ah mak-sut-sut hamba pe-pe-ralatan setan…, au mak-mak-sutku tukang setan…” Kata si lelaki tua terbata-bata sambal istrinya disampingnya terus memanjatkan doa pada entah siapa dimana.
              Tukang peralatan setan tidak bergeming, masih diam seribu satu bahasa. Lalu lelaki tua itu mencoba berbicara lagi “Ya tuan tu-tu-kang peralatan bi-bi-sakah anda menolong hamba? Ya setan-tan peralatan hamba ingin kembali-li-li muda de-de-ngan istri hamba.”
              Tukang peralatan setan masih diam, namun sekarang ia diam seribu bahasa. Dia membuka mulutnya yang terlihat penuh dengan taring, sungguh semua giginya berbentuk taring semua hingga racun pun takut masuk kedalam mulutnya. Ia masih tak bersuara dan kemudian menunjuk-nunjuk istri si lelaki tua yang masih berdoa pada entah siapa dimana. Buru-buru si lelaki tua menampar istrinya, mencengkram kepalanya dan memaksanya bersujud pada Tukang peralatan setan bersamanya. Istrinya hanya bisa menangis sambil berdoa dengan sekarang yang ada didepannya.
              Tukang peralatan setan menunjuk kedua tangan pasangan tua itu. Tangan kanan milik si lelaki dan tangan kiri milik si perempuan. Mereka mengangkat tangannya dengan lemah. Tukang peralatan setan meraba-raba kedua tangan mereka. Dia meraba ibu jari mereka, dia menggeleng. Dia meraba telunjuk mereka, dia mengeleng. Dia meraba jari tengah mereka, dia terguncang. Lalu sampailah pada jari manis mereka, terasa jelas ditangan Tukang peralatan setan dua cincin dimasing-masing jari mereka. Mulut Tukang peralatan setan yang menganga lebar itu perlahan-lahan merajut senyum lebar. Kemudian ditariklah kedua jari itu dari tangan empunya dan dipasankannya sendiri ke sepasang taring paling besar dimulutnya, semua itu dilakukan Tukang peralatan setan bukan tanpa alasan. Tukang peralatan setan punya alasannya sendiri yang tak akan mampu dipahami oleh siapapun, sungguh agungnya Tukang peralatan setan itu.
              Menyadari jari manisnya telah dicabut oleh Tukang peralatan setan, si lelaki berteriak sambil meloncat-loncat, si perempuan berteriak sambil bersujud-sujud lalu bergantian jika tiga kali sudah dilewati. Namun perlahan-lahan dari luka bekas jari manis itu muncul saraf-saraf dan otot-otot baru yang menjalar keseluruh tubuh mereka sehingga dengan sekejap mata mereka kembali belia. Mereka kegirangan, mereka menari-nari, melompat-lompat, berputar-putar sambil jari kelingking mereka berkaitan satu sama lain.
              “Aku akan mencintaimu untuk selamanya!” Kata yang laki-laki.
              “Aku akan ,mencintaimu semaumu!” Kata yang perempuan.
              “Cintaku padamu dapat melelehkan seluruh dingin dan membekukan seluruh panas!” Kata yang pria.
              “Cintaku padamu dapat meggoncangkan tanah dan meluluhlantakkan langit!” Kata yang wanita.
              “Kita akan hidup selamanya!” Kata yang adam.
              “Kita akan hidup semaunya!” Kata yang hawa.
              Begitulah kata-kata yang kudengar ketik mereka berjalan meninggalkan Tukang peralatan setan dengan jari kelingking yang saling erat mengikat, sambil setiap lima langkah berpelukan dan setiap tujuh langkah berciuman. Aku keheranan dengan apa yang baru kulihat. Sepasang kekasih tua tiba-tiba kembali muda, kembali belia hanya dengan korban tak lebih dari permata. Wujud Tukang peralatan setan seperti merayuku untuk mendekatinya, apa boleh buat aku ini masih hina.
              Tepat saat itulah bencana mulai terjadi. Awan seketika berubah warna menjadi hitam pekat angina dan petir mulai tercipta ditengah-tengahnya anehnya taka da setetespun air yang turun. Tanah-tanah retak-retak marak-marak disekitar pasar ini. Baja-baja adiraja barat melarat sampai luntang-lantung tak karuan takutnya. Para kera jenis unggul keluar dari perut baja-baja itu, barangkali dari anusnya yang megah itu.
              Kera-kera itu lari-lari tak karuan sambil berteriak tak karuan pula.
              “Aaaaakkk…iiiikkk…uuuukkk…!” Teriak mereka senada dengan ‘dor dor dor’ dari senapan mereka.
              “Iiiikkk…uuuukkk…aaaakkk…!” Teriak mereka senada dengan ‘duaar duaar’ dari bom-bom yang amat keras terdengar.
              “Uuuukkk… aaaakkk…iiiikkk…!” Teriak mereka senada dengan ‘bledar bledar’ rudal yang menggantikan air yang turun menggertakkan bumi.
              Para malaikat mabuk kalang kabut memukuli semua makhluk yang hendak berlindung melarikan diri. Raksasa, centaur, minotaur, burung phoenix, manusia rawa, gundul pringis, kuyang, semuanya tampak melarikan diri sambil dikejar-kejar malaikat. Beberapa sudah berbaring ditanah dengan enaknya layaknya putri tidur yang ketiduran selama-lamanya. Para setan membantu mereka yang masih sadar sambil menangisi mereka yang sudah tidur. Setan-setan menggendong mereka dengan lembut dan terbang dengan sangat anggun tanpa sedikitpun tergores untuk menolong makhluk-makhluk yang malang itu.
              Tukang peralatan setan entah mengapa mulai tertawa.
              “Hohohohoho…!” Tawanya sambil mengangkat kedua tangannya.
              “Hihihihihi…!” Tawanya ketika dua setan menyambar tangannya dengan lembut.
              “Hahahahaha…!” Tawanya ketika kedua setan membawanya terbang sambil menangis haru.
              Segera tiga makhluk yang sama-sama disebut setan itu dilahap ombak besar yang entah darimana membawa banjir bandang. Keagungan Tukang peralatan setan luluh seketika ketika ombak maha besar itu runtuh. Tepat diatas ombak besar itu tampak bola api besar muncul dari kelamnya awan. Vampir-vampir segera menjadi debu karena bola api itu yang disebut matahari yang terlihat amat dekat. Angin topan mulai berkumpul pada ombak maha besar itu, bersatu, kemudian menciptakan pusaran angina dengan air yang menciptakan maha besarnya maha agung.
              Dengan matahari yang masih diatas pusaran itu menyinari dengan amat terang walaupun sekitarya adalah awan yang sangat kelam. Muncul seseorang yang berdiri tegap diatas pusaran campuran angin dan air itu. Orang itu kemudian berteriak dengan lantangnya.
              “Jangan malas-malas! Mari hancur-hancur!” Sudah pasti itu si orang gila!
              “Ini hari, hari tiga belas jangan malas-malas! Cepat segera hancur-hancur!”
              Sambil pusaran itu terus bergerak meratakan segalanya, orang gila itu menunjuk-nunjuk langit dan tanah bergantian dengan tangan kanan dan kirinya. Namun sekarang berbeda, sekarang jelas berbeda! Dia melakukannya dengan jari tengahnya! Dia telah melaknat dunianya sambil menghilangkan kemalasan dengan kemuliaan tanggal tiga belas.
              Sudah cukup aneh dan menakutkan rasanya bahwa aku yang tak berlindung tak terkena apa-apa padahal aku menyaksikan semuanya dengan jelas bahwa semuanya hancur lebur. Namun yang lebih mengejutkannya lagi matahari mulai tenggelam dan terbit lagi. Kejadian itu sangat cepat terjadi. Yang mengagumkannya kuhitung kejadian itu terjadi sebanyak-banyaknya sembilan belas kali.

Jumat, 04 Oktober 2019

Kebahagiaan


Hari sudah malam. Semua orang sudah tertidur lelap dan mengarungi mimpinya masing-masing. Rudi masih bermain dengan ponsel pintarnya, dia tidak sadar bahwa hari telah malam. Dia sudah bermain dengan ponselnya itu dari pagi sampai saat ini. Yang dia lakukan hanya melihat hal-hal yang ada di sosial medianya. Hanya dengan begitu ia sudah merasa senang.
"Terimakasih, teknologi. Karena kau aku bisa merasa senang, aku juga cinta dengan internet yang membuatmu sempurna," katanya tiba-tiba.
Tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dengan keras sampai menimbulkan suara. Seorang malaikat muncul dari luar jendela itu, dia menunjuk ke arah Rudi sambil mengisyaratkan untuk mendekat. Rudi dengan ragu mendekati malaikat itu, dia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan.
"Kau suka dengan teknologi modern seperti di tanganmu itu kan, kau suka dengan yang kau sebut internet kan? Mari ku ajak kau jalan-jalan."
Rudi hanya mengiyakan saja tanpa tahu maksudnya. Malaikat itu merangkulnya dan terbang ke langit. Rudi hanya diam saja, dia yakin ini bukan mimpi. Malaikat membawanya terbang jauh dari rumahnya. Mereka sampai di sisi kota yang masih ramai. Lalu malaikat itu berhenti di langit dan mulai bertanya pada Rudi.
"Apa yang kau suka dari teknologi itu?"
"Aku bisa melihat banyak artis terkenal yang kusuka dengan mudah, mereka juga dapat muncul dengan mudah karena teknologi."
Lalu malaikat menunjuk pada sebuah jendela apartemen. Dapat terlihat dari balik jendela itu seorang laki-laki yang terduduk lemas di kursi. Laki-laki itu adalah salah satu artis yang Rudi kagumi, ia terkenal dengan menolak mengonsumsi narkoba dan hidup optimis. Namun dapat terlihat dia sedang menyuntikkan sesuatu pada lengannya sambil tertawa sendiri. Rudi tak percaya dengan apa yang ia lihat, lalu malaikat mulai bicara lagi.
"Itu salah satu dari banyak orang yang kau kagumi bukan? Kau mengenalnya dari yang kau sebut internet, kau mengenalnya dari teknologi. Apa kau tak pernah berpikir dia berbohong padamu tentang kehidupannya? Kau malah memuji teknologi karena sudah memperkenalkannya, sekarang lihat betapa negatifnya dia."
"Dia juga manusia, pasti bisa berbuat kesalahan! Kami semua begitu."
"Ya, memang. Begitu juga dengan perkataanya yang kau puja itu. Kemarin kau memujanya, sekarang kau membantahku dan memujanya lagi, lakukan saja hal itu sampai kau mati."
Rudi hanya terdiam, sementara malaikat mulai terbang lagi menuju ke tempat yang lainnya. Tampak banyak kendaraan yang berlalu-lalang di bawah mereka. Banyak layar besar menampilkan produk yang diiklankan, bercahaya menerangi malam. Beberapa saat kemudian malaikat berhenti di depan sebuah gedung. Gedung itu adalah sebuah rumah susun yang padat penduduk.
"Katakanlah lagi apa yang kau suka dari teknologi."
"Aku bisa mendapat apapun dengan mudah hanya dengan menekan layar di ponselku."
Lalu malaikat menunjuk pada sebuah jendela pada gedung itu. Terlihat seorang wanita sedang memasuki ruangan dengan muka lesu. Wanita itu membawa sebuah kotak ditangannya. Kemudian wanita itu menghidupkan pendingin ruangan sambil mencari gunting untuk membuka kotak itu. Dia mengeluarkan sepasang sepatu dari kotak iti dan memakainya, sepatu itu terlihat cocok dikakinya. Namun tidak ada senyum pada wajahnya, dia malah berlalu sambil menghidupkan ponsel pintarnya.
"Kau lihat itu? Itu dampak dari teknologi modern," kata malaikat itu tiba-tiba. "Semuanya menjadi lebih mudah, semuanya menjadi lebih mudah digapai."
"Bukankah itu bagus kalau semuanya mudah didapat, malah aneh jika berpikir itu buruk," kata Rudi membantah malaikat.
"Ya, dan semua itu membuat kalian tidak bersyukur, semua itu menjadi terlalu mudah, kalian semua jadi tidak dapat menemukan kebahagiaan dibaliknya. Wanita itu sampai rumahnya dengan kendaraan yang ia pesan dari alat yang disebut ponsel pintar, membuatnya tidak bisa menikmati rasa senang saat sampai pada rumahnya karena ia tidak banyak berusaha untuk kembali kerumahnya."
"Dan lihat kotak yang ia terima. Dia mendapatkannya hanya dengan menekan alat yang disebut ponsel itu, walaupun isinya sesuai dengannya dia hanya merasa biasa saja. Itu karena dia tak merasakan perjuangannya."
"Tidak mungkin dia tidak senang, pasti dia senang barang yang dia terima sesuai dengan keinginannya," bantah Rudi lagi.
"Apa kau tak tahu yang namanya kejenuhan? Awalnya ia senang, tapi lihat sekarang," Rudi hanya diam menatap wanita itu menyisihkan sepatu barunya, tampak tak peduli. "Lagipula tidak ada yang tahu keinginannya," kata malaikat sambil terbang pergi.
Malaikat terus terbang menjauh menyusuri gedung-gedung tinggi. Sampai pada sebuah jalan yang ramai dia berhenti dan bertanya pada Rudi lagi.
"Sekarang katakan lagi apa yang kau suka dari teknologi itu."
"Karena teknologi modern kami manusia dapat berkomunikasi dengan lebih baik, aku bisa kenal dengan orang yang tinggal jauh dariku."
Lalu malaikat menunjuk pada orang-orang yang berlalu-lalang yang fokus pada ponsel masing-masing.
"Hanya dengan kejadian seperti itu kau tak bisa merubahku," kata Rudi pada malaikat.
"Ya, aku tahu itu. Sekarang coba lihatlah lagi." Malaikat menunjuk pada seorang gelandangan di tengah keramaian itu. Dia tampak kedinginan dan kelaparan, dia meminta-minta makanan pada orang yang lewat, namun tak ada yang menghiraukannya.
"Kau bilang teknologi itu bisa membuat kalian berkomunikasi lebih baik, tapi lihatlah sendiri kejadian ini. Gelandangan itu sudah meminta pertolongan pada kalian yang mampu, tapi kalian tidak ada yang mendengarkan, kalian malah sibuk berkomunikasi dengan siapa entah dimana, dengan apa dan untuk apa. Lalu apa gunanya komunikasi itu semua jika yang dekat tidak dihiraukan."
"Kami juga bisa berbagi hal itu juga di internet agar orang-orang tahu akan keberadaanya, apa kau lupa akan itu wahai malaikat?"
"Ya, dan kalian akan menuliskan doa untuknya. Lalu apa hubungannya semua itu dengan dirinya. Gelandangan itu tetap tak tertolong, karena bukan tuhan yang dengar doa kalian tapi sesama kalian yang tahu doa kosong kalian."
Lalu malaikat terbang lagi. Rudi yang berada di antara lengannya hanya bisa diam memikirkan semua yang malaikat katakan. Malaikat terbang dengan cepat melewati semua kejadian yang mereka saksikan. Si wanita masih terjaga dengan teleponnya. Si artis terbaring lemah dikasur mahalnya. Dan tidak ada yang tahu dengan nasib si gelandangan.
"Sekarang tidurlah," kata malaikat saat mereka sudah kembali di kamar Rudi.
"Bagaimana aku bisa tidur setelah kau perlihatkan semua itu. Kau tahu aku hanya bahagia dari benda yang dinamakan ponsel pintar itu."
"Kau hanya tidak sadar saja, kau harusnya bisa mengambil sesuatu dari kisah ini. Aku tak akan mengatakan apa-apa soal itu, biar kau cari sendiri agar kau bisa mengakhiri semua ini."
"Tunggu, jadi apa maksutmu?"
"Barangkali kau belum sadar atau barangkali kau belum tahu bahwa semua ini disebut cerita pendek," malaikat terbang keluar melalui jendela. Terbang tinggi dan hilang diantara cahara remang bulan purnama.
Tamat

Senin, 19 Agustus 2019

Buta


Malam ini terasa amat dingin di hutan. Burung hantu bertengger di dahan-dahan pohon mengamati mangsanya. Suara air mengalir disungai terasa memperindah keheningan malam. Sungguh malam yang amat sunyi bagi jiwa yang sedang mencari.
Seorang lelaki masuk kedalam hutan, dia ketakutan, dia tak bisa melihat apa-apa semuanya tampak gelap. Dia merasa seperti orang buta. Lelaki itu mengais-ngais semak seperti binatang pengerat. Sampai-sampai semak itu terganggu olehnya.
"Apa yang sedang kau lakukan pada malam yang amat dingin ini wahai manusia?"
"Aku sedang mencari sesuatu, sesuatu yang hilang dariku."
"Lalu apa yang kau cari sampai malam begini, apa kau tak takut sendiri?"
"Justru karena rasa takutku itu aku mencari. Aku mencari istriku, istriku yang teguh dia yang selalu punya tujuan dan keyakinan bahkan disaat seperti ini. Apa kau tahu dimana dia wahai semak-semak belukar?"
"Oh sesungguhnya manusia engkau sungguh buta, engkau buta akan kesadaran. Mana mungkin aku tahu dimana istrimu yang teguh itu. Aku hanya semak belukar yang tanpa akar, tanpa pendirian. Kumenjalar kesana kemari tanpa ada yang ku mengerti. Mana kumengerti arti teguh  yang kau cari." Semak-semak itu diam beberapa saat.
"Tanya saja pada pohon, dia lebih tinggi daripada aku. Pasti ia melihat lebih jauh dan lebih tahu  daripada aku."
Lalu lelaki itu pergi mencari pohon tertinggi di hutan itu. Ia dapat mendengar setiap langkah kakinya sendiri menemani malamnya. Dia melihat sekelilingnya, banyak burung hantu disampingnya. Dia berniat bertanya pada burung-burung hantu itu soal pohon paling tinggi. Sebelum dia sempat bertanya pada burung-burung hantu itu, mereka mengeluarkan suara yang amat keras seakan-akan mengejek lelaki itu. Dia berlari-lari sambil menutup telinganya berusaha mengusir burung-burung itu.
"Pergilah kalian para pengganggu! Tidak tahukan kalian bahwa aku sedang bersedih?!"
"Apa dasarnya kau bersedih? Ooh engkau sungguh buta wahai manusia." Seekor burung hantu membalasnya. "Engkau manusia yang pantas mati, engkau pencari yang pantas mati!"
Lalu burung hantu yang berbicara itu terbang tinggi ke langit diikuti burung-burung yang lainnya, pergi meninggalkan lelaki itu. Lelaki itu bingung dengan burung-burung hantu itu. Kemudian dia melanjutkan pencariannya.
Angin bertiup kencang menerpa pohon-pohon disampingnya menggugurkan daun-daun dari dahan-dahnnya. Tiba tiba terdengar suara diantara pohon-pohon itu. Lelaki yang penasaran itu menghampiri asal suaranya.
Dia menemukan sebuah pohon besar yang amat tinggi ditengah-tengah hutan. Dia amat senang bisa menemukan pohon tertinggi di hutan itu. Tanpa banyak berpikir ia menanyai pohon itu.
"Wahai pohon yang tertinggi apa kau tahu dimana istriku?"
"Istri macam apa yang kau cari?"
"Istri ku yang cantik. Kecantikannya bisa membuatku sampai bergidik. Dia begitu sempurna untukku."
"Oh betapa butanya engkau wahai putra Adam, kau mencari istrimu yang cantik namun lihatlah aku!" Pohon itu nampak marah.
"Memang aku yang tertinggi, aku ini juga yang tertua. Namun lihatlah aku wahai putra Adam berapa kau pikir umurku ini? Lihat batangku yang kering ini  betapa jeleknya batangku! Mana kutahu kecantikan macam itu!"
"Wahai putra Adam sesungguhnya aku sungguh tua sampai-sampai bulan diatas saja tak bisa kulihat. Dan ketahuilah wahai engkau putra Adam yang buta, sebentar lagi kuakan pergi."
"Apa maksudnya perkataan mu itu wahai pohon? Bukankah itu menjadi bukti bahwa engkau telah berpengalaman? Bukannya engkau seharusnya menjadi bijak?"
"Sesungguhnya aku juga sepertimu, engkau pasti pikir aku bijak namun aku tamak. Aku selalu mencari pada satu hal saja, sampai-sampai akarku tak berkembang jauh, aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ku butuhkan, jadilah aku seperti ini." Pohon terdiam sejenak lalu berkata lagi dengan lirih.
"Oh selamat tinggal wahai putra Adam. Semoga engkau dapat terus mencari pada yang patut ditanyai." Lalu batang pohon itu ambruk kebelalang tepat didepannya meninggalkan akarnya menancap ditanah. Angin yang berhembus berbau seperti tanah.
Lelaki itu melihat lingkaran pada bekas batang pohon itu. Ada begitu banyak lingkaran-lingkaran tanda pohon itu sudah sangat tua. Dia kebingungan kemana lagi ia harus mencari. Lalu ia teringat perkataan pohon tadi tentang bulan. Lelaki itu mendongak keatas dan melihat bulan. Bulan itu tidak terlihat jelas karena tertutup pepohonan.
Kemudian ia berlari kencang untuk keluar dari hutan. Untuk melihat sang bulan dengan jelas, untuk bertanya padanya. Dia sudah melihat cahaya terang bulan didepannya. Tiba-tiba seekor burung hantu jatuh dihadapannya.
Burung hantu itu mulai berbicara dengan suara lirih. "Apa kau belum paham juga wahai si pencari?"
"Ya aku paham semuanya bahwa kau ini bodoh dan munafik, lihat dirimu sendiri sekarang! Sekarang kau yang malah akan mati!"
"Pohon tua itu sudah bersabda padamu, dia sudah menyampaikannya padamu. Mungkin kau bukan hanya buta saja, mungkin kau juga tuli."
"Ah persetan dengan segala bualanmu! Sekarang matilah aku harus terus mencari istriku yang kucintai!" Lelaki itu menginjak tubuh buruh hantu itu dengan keras berkali-kali.
"Hahaha siapa juga yang akan mati? Selamat tinggal wahai sang pencari semoga engkau cepat mati!" Tanah menelan tubuh burung itu, tidak ada yang tersisa ditanah kecuali jejak kaki lelaki itu.
Lelaki itu berlari lebih cepat lagi untuk keluar dari hutan. Saat dia sudah benar-benar di tanah lapang dia mendongak kelangit dan berteriak dengan keras.
"Oh wahai bulan yang indah dan agung. Apakah engkau tahu dimana istri tercintaku?"
"Wahai  yang hidup, istri seperti apa yang kau cari?"
"Dia istriku yang indranya tajam, yang selalu peka dan perhatian apalagi kepadaku saat dunia menghantamku."
"Oh wahai yang hidup mana kutahu seorang wanita yang seperti engkau katakan itu. Aku tidak peduli dengan sesuatu yang lain kecuali diriku sendiri." Malam nampak akan berakhir saat itu juga, lalu bulan berkata lagi. "Buktinya lihat sekarang, aku muncul saat kalian yang hidup beristirahat, dunia tak akan menghantam orang-orang yang beristirahat. Lalu lihat saat pagi nanti saat dunia mengepalkan tinjunya, kemana aku? Aku telah bersama orang-orang yang beristirahat dilain tempat."
"Bukankah cahayamu itu yang telah memberi ketentraman malam? Bukankah kau itu juga peduli, maka dari itu tolong cari lah istriku dari atas sana sebelum malam mencengangkan ini berlalu."
"Aah kau terlalu banyak berbicara wahai yang hidup, yang buta. Selamat tinggal, saatnya aku mencari orang-orang yang beristirahat yang tak akan peduli dengan segala hal tentang dunia yang fana ini."
Ayam berkokok dan bulan pun menghilang di barat, sementara matahari muncul dari timur dengan cahanya paginya.
"Persetan juga denganmu bulan! Mari kutanya kau wahai matahari apakah kau tahu dimana istriku? Kau muncul saat semua ada seharusnya kau tahu."
"Tidak bisakah kau berbicara dengan sopan wahai yang hidup. Istri seperti apa yang kau cari?"
"Dia istriku yang selalu berpikiran positif, jiwanya selalu terasa cerah ketimbang jiwaku, dia yang selalu menenangkanku. Apa engkau tahu dimana jiwa cerah itu?"
"Ya aku tahu." Perkataan matahari itu membuat lelaki itu tersenyum gembira sampai matahari mulai berbicara lagi. "Aku tahu kau mencari hal yang buntu."
"Apa maksutmu dengan yang buntu? Kupikir cahayamu sama dengan cahaya jiwa istriku itu."
"Pikiranmu telah membutakanmu, apa kau tak pernah berpikir aku ini kepanasan? Aku terlalu berpikir positif pada kalian yang hidup, yang hidup yang menanam, yang hidup yang saling menghancurkan, dan jadilah aku seperti ini."
"Apa-apaan lagi semua ini!" Lelaki itu nampak kesal.
"Kau tak mengerti energiku menjadi cahayaku, cahayaku menjadi panasku, dan jadilah aku. Oh selamat tinggal wahai yang hidup aku juga sudah muak dengan kelancanganmu itu." Matahari terdiam dan cahayanya menjadi semakin cerah dan semakin panas.
"Dasar kalian semua setan!" Lelaki itu marah, dia menginjak-injak tanah berkali-kali sambil melompat-lompat layaknya orang gila. "Aku merana aku merana aku merana!"
Tiba-tiba tanah disekitarnya bergetar cukup keras sampai membuatnya terjatuh. Dia berusaha berdiri lagi sambil bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Getaran tanah tadi menghilangkan sedikit amarahnya membuatnya kebingungan.
"Diamlah kau wahai manusia sinting!" Tanah mulai terlihat marah pada lelaki itu, namun lelaki itu malah terlihat senang.
"Oh wahai tanah apa kau tahu dimana ist-."
"Jadi kau masih ingin mencari? Apa kau tak sadar engkau sudah bertamya kesana kemari tanpa menemukan jawaban pasti namun kau masih mau mencari, sungguh gila diri engkau."
"Bagaimana kau tahu semuanya wahai tanah? Aku belum pernah sekalipun berbicara denganmu."
"Apa kau tak sadar siapa diriku? Aku lah tanah, akulah yang selalu engkau pijak akulah yang mengetahui segala yang ada di daratan. Kau sudah lihat bagaimana aku menelan burung hantu yang malang, engkau sudah lihat semua, engkau sudah tahu semuanya." Tanah terdiam sesaat lalu berkata lagi dengan keras, "oh maaf aku lupa, kau ini kan buta."
Lelaki itu tidak marah, sekarang ia hanya diam saja lalu berkata pada tanah, "sesungguhnya tanah jika kau tahu segalanya lalu apa maksudnya buta untukku? Semua yang kutanyai dari tadi berkata aku buta jelaskan apa maksutnya agar aku tidak buta!"
"Baiklah terserah kau saja."
"Kau bertanya pada semak belukar tentang istrimu yang teguh yang kau kata yang selalu punya tujuan dan keyakinan. Saking butanya engkau, kau bertanya pada semak belukar yang tanpa akar yang dia sendiri tidak tahu mengapa dirinya ada, sungguh kau tidak sadar karena kebutaanmu."
"Mana kutahu tentang itu sebelumnya wahai tanah," lelaki itu membantah tanah.
"Kalau begitu saat kau bertanya pada pohon kau bertanya tentang istrimu yang kau kata cantik. Engkau bertanya kecantikan pada suatu yang hanya tahu keburukan, kau sendiri seharusnya sudah tahu dari batangnya, dia sendiri sudah mengatakannya padamu."
"Bukankah pohon sudah bersabda betapa jeleknya ketamakan, betapa jeleknya mencari kepada satu hal saja?"
"Aku tidak paham apa yang kau maksut, mungkin kau sama bodohnya dengan burung hantu yang mati wahai tanah." Lelaki itu mulai muak pada tanah karena jawabannya.
"Mari kujabarkan untuk kedunguanmu. Kau percaya pada istrimu yang berkeyakiann yang teguh sementara selama ini kulihat kau tak benar-benar yakin pada apapun bahkan saat kau menikahinya kau masih mempertimbangkan yang lainnya."
"Apa-apaan kau ini! Jelas aku mencintainya."
"Lalu kemana dia sekarang? Apa kau masih yakin dia yakin padamu? Lalu soal ketamakan, selama ini kulihat kau malah terlalu yakin pada hartamu. Kau terlalu yakin tentang itu sehingga yang kau cari hanya itu-itu saja yang kuyakin kau tak tahu apa maknanya."
"Itu semua untuk kesenangan istriku."
"Oh jadi kau yakin dia senang? Jadi kau mencari-cari kesenangannya, lalu mengapa sekarang kau malah mencari dirinya bukan menikmati kesenangan bersamanya. Dan sesungguhnya si burung hantu selayaknya menjadi malaikat bagimu, dia sudah memperingatkanmu untuk berhenti mencari karena ia tahu arti semua ini."
Lelaki itu malah gemetaran sekarang. "Ba-baiklah! Kau benar. Tapi itu belum menjawab semuanya, bagaimana dengan jawaban bulan dan matahari?"
"Bukankah semua itu sudah jelas kau bertanya kepada yang tak patut ditanyai. Kau bertanya dimana istrimu yang kau kata selalu peduli, lalu  bulan berkata bahwa seindah-indahnya cahanya dia sama sekali tidak peduli pada kalian semua, sama halnya dengan kau yang mungkin tidak peduli pada istrimu namun hanya kebahagiannya."
"Bukankah yang terpenting dalam hidup adalah bahagia?" Lelaki itu malah membantah lagi.
"Lalu dimana dia sekarang? Dimana kebahagiannya?." Lelaki itu menatap kosong ketanah setelah mendengar perkataan itu, "lalu kau bertanya pada matahari tentang istrimu yang kau kata juga orang yang selalu berpikir positif sementara matahari merana karena pikiran positifnya. Istrimu juga merana karena hal yang sama dengan matahari."
"Tunggu, jadi kau tahu dimana dia?"
"Tentu, bukankah aku sudah bilang padamu aku tahu segalanya yang ada di daratan," tanah terdiam beberapa saat, lalu sesuatu muncul dari dalam tanah.
Kerangka manusia keluar dari dalam tanah dan kemudian berdiri tegak. Tidak berdaging hanya tulang yang amat putih saja yang terlihat pada kerangka itu. Kerangka itu seakan-akan menatap laki-laki itu dengan tajam.
"Apa maksutnya ini?." Tubuh lelaki itu gemetaran karena ketakutan.
"Kau meminta istrimu, kuberi kau istrimu. Lihatlah sekarang buah dari perbuatanmu."
Kerangka itu mulai berjalan ke arah lelaki itu. Berjalan dengan setiap sendinya bersuara, membuat jejak kaki yang mengerikan. Kerangka itu menyentuh wajah lelaki didepannya. Laki-laki itu mulai meneteskan air mata, dia menyentuh tengkorak kerangka itu.
"Ya, benar ini istriku! Betapa butanya aku, hei tanah injinkan aku menari dengannya!"
"Kau tak memerlukan ijinku, berbuatlah sesukamu. Namun ijinkan aku mengatakan beberapa patah kata." Lelaki itu tidak memperhatikan dia langsung menggapai tangan kerangka didepannya dan menari dengan anggun.
"Lihatlah tatapan kosong pada tengkorak istrimu. Itu karena kau tak pernah yakin padanya."
Lelaki itu semakin cepat menari.
"Lihatlah tengkorak istrimu betapa buruk keadaanya. Itu karena kau hanya peduli pada fisik kecantikan."
Lelaki itu mulai memejamkan mata namun masih saja menari-nari.
"Lihatlah tubuhnya, yang dulunya berisi daging yang kau puja sekarang tinggal tulang malang saja. Itu karena kau terlalu tamak dan tak peduli dengan istrimu."
Lelaki itu membuka matanya lagi sambil air mata mengucur deras dari kedua bola matanya.
"Oh dan yang terakhir, lihatlah pada genggamanmu sendiri. Kau genggam tulang itu dengan erat saat semua sudah terlambat, sungguh positifnya engkau."
Lelaki itu mulai berbicara lagi kepada tanah, "wahai tanah inilah saatku! Inilah nasibku! Inilah ajalku! Kubur aku dalam-dalam bersama istriku."
"Terserah kau saja temanku, selamat tinggal sang pencari. Selamat juga karena kau akan mati." Tanah seakan-akan menelan tubuh lelaki itu, melahapnya tanpa sisa begitu juga dengan tulang belulangnya.